2. Sebuah Pilihan Yang Sulit

750 83 11
                                    

"Apa kau pikir musuh akan menunggumu untuk siap?"

Sigurd memarahiku ketika aku merengek karena tak siap menerima serangannya.

"Berdiri! Pegang pedangmu!"

"Tanganku masih sakit." Aku merajuk, meminta pengertiannya. Namun, Sigurd justru memelototiku dan menunjuk pedang kayu yang masih tergeletak di tanah. Ekspresinya seolah mengatakan, 'Ambil dan pasang kuda-kuda.'. Aku memungut pedang kayuku sambil setengah menggerutu lalu mengarahkannya pada Sigurd.

Sigurd kembali mengoreksi sikap tubuhku. Sisi datar pedang kayunya memukul-mukul posisi tubuhku yang salah dan dia terus melakukan itu sampai aku membenarkan posisiku. Menyebalkan! Namun, aku tidak bisa menolak latihan yang dia berikan.

"Dalam pertarungan nyata, musuh tidak akan menunggumu siap. Mereka akan mencari kelengahan serta celah darimu," ujarnya ketika aku mengeluhkan didikannya yang keras. "Merajuk tidak akan membuatku melonggarkan aturan, Lea. Dan apa kau kira kedua kakakmu tidak mendapatkan perlakuan yang sama? Mereka bahkan tidak berani mengeluh saat aku menghukum mereka berlari mengelilingi lapangan latihan saat tak bisa menghafal jurus-jurus yang kuajarkan dengan benar. Apa yang kau terima jauh lebih ringan dari mereka!"

"Tapi aku perempuan! Mereka laki-laki, Sig!" Aku berkeras, memintanya supaya tidak terlalu keras melatihku.

"Laki-laki atau perempuan sama saja! Kalau hanya karena alasan jenis kelamin kau merajuk supaya aku melunak, itu tidak akan berpengaruh! Kapan kau bisa berkembang kalau merengek karena hal-hal sepele?"

Balasannya benar-benar membuatku kesal setengah mati. Seharian itu, aku cemberut sambil menghafal semua instruksinya baik-baik. Dulu sekali, aku memang menginginkan latihan-latihan semacam ini, karena hal tersebut terlihat mengagumkan—pemikiran remeh dari seorang anak kecil berusia lima tahun. Namun, sekarang, aku berpikir sebaliknya. Latihan-latihan ini benar-benar melelahkan sekaligus menjemukan. Berkali-kali aku hampir menyerah dan ingin berhenti mempelajari semua ini. Kalau bukan karena paksaan Sigurd, sudah jauh-jauh hari kubuang semua peralatan latihan bela diriku.

'Semua ini untuk dirimu sendiri'. Begitu yang dia ucapkan bila aku merajuk tak mau berlatih bela diri. 'Ini semua untuk keselamatanmu'. Bila kedua kalimat itu sudah dia ucapkan, pada akhirnya aku akan berdiri dan kembali mengikuti latihannya. Sigurd memang tak pernah bisa benar-benar ditolak.

Kini, aku harus mensyukuri semua paksaannya pada waktu itu. Berkat arahan serta pendidikannya, setidaknya aku bisa melindungi diriku sendiri. Dia mungkin telah meninggalkanku, tetapi ilmu-ilmunya masih tersimpan di dalam kepalaku. Sebagai ganti dirinya, ajaran-ajarannya yang melindungiku hingga saat ini.

Pisau yang kulempar pada lelaki yang hendak menebas kepala budak bernama Mir menancap tepat di lengannya. Dia terpekik. Pegangannya pada pedang menjadi goyah, sehingga tebasannya pun terhenti di tengah-tengah. Semua orang langsung waspada, terkejut karena eksekusi terhenti sekaligus waspada terhadap kehadiran pengganggu.

Aku masih bersembunyi di balik pohon, menanti mereka mendatangiku. Jika tadi aku memuji kecerdasaanku karena memilih lari dalam menghadapi segerombolan perampok, sekarang aku mempertanyakan di mana letak kewarasanku karena berani mengonfrontasi sekelompok pengawal terlatih. Aku sendirian dan sedang terluka. Sementara mereka ada sepuluh. CATAT, SEPULUH ORANG!

Tidak mungkin aku bisa menang melawan mereka.

Kenapa akal sehatku baru bekerja sekarang, sih?

Nasi telah menjadi bubur. Aku telanjur menyerang salah satu di antara mereka dan tidak ada pilihan lain, kecuali menyelesaikan apa yang kumulai. Aku harus menolong budak bernama Mir itu.

The Golden AnshokWhere stories live. Discover now