4. Menyusun Langkah Pasti

659 76 7
                                    

"Kau tak perlu melakukan ini," ujar Mirtha saat aku memberikan dua keping koin bernilai 10 Oskel pada bocah yang berhasil membawakan kami satu setel pakaian baru.

Hanya ada dua cara untuk mendapatkan pakaian. Yang pertama adalah menjahitnya sendiri, yang kedua adalah memesannya pada penjahit. Yang jelas, kedua cara tersebut akan membutuhkan waktu lama. Belum lagi, kami tidak punya waktu ke toko kain untuk memilih kain. Jadi, satu-satunya cara untuk memiliki pakaian jadi dalam waktu cepat adalah dengan membeli milik orang lain. Namun karena tubuh Mirtha yang cukup jangkung dan perawakan tubuhnya yang berisi, aku sedikit kesulitan mendapatkannya. Untunglah ada seorang anak yang berhasil memperoleh baju yang kelihatannya sesuai untuk ukuran Mirtha.

"Katakan itu sebelum aku membeli ini." Aku menariknya menuju area yang lebih sepi. Suasana di pusat kota memang selalu ramai. Bahkan, di waktu manusia-manusia seharusnya beristirahat, keadaan di sini justru semakin sibuk dengan lalu-lalang orang-orang yang mencari selingan setelah seharian bekerja keras.

Kami berjalan cepat ke jalan arteri yang tidak banyak dilalui oleh orang-orang dan aku menemukan semacam celah sempit antara dua bangunan toko yang sudah tutup. Celah tersebut membentuk semacam gang yang bisa dilalui oleh satu orang dan keadaan di sana cukup gelap. Aku yakin, tidak akan ada orang yang lewat sini.

"Ganti pakaianmu." Kuserahkan pakaian itu kepadanya dan menyuruhnya berganti pakaian di sini.

Mirtha menatapku tak percaya, tampak keberatan dengan perintahku. Aku segera berbalik dan menghadap ke jalan, menunggunya sampai berganti pakaian. Sambil mengawasi jalanan yang dilewati satu dua orang, aku bersandar pada salah satu dinding bangunan. Walau tak ingin berpikiran macam-macam, imajinasiku tetap membayangkan yang tidak-tidak ketika mendengar suara kain yang jatuh ke tanah. Lucu sekali. Sebagai gadis yang sopan, seharusnya aku lebih menjaga isi pikiranku. Namun, terkadang khayalan suka berjalan di luar batas.

"Sudah." Ucapan Mirtha menyadarkanku dari lamunan.

Aku beranjak ke pinggir jalan, membiarkannya keluar dari gang tersebut.

Pakaian itu tampak pas di tubuh Mirtha. Warnanya memang sedikit pudar, tetapi tidak terlihat kentara karena gelap. Rompi kelabu tanpa lengan yang menjadi luaran pakaiannya memberi kesan yang kontras, sehingga membuatnya tampak menarik. Dasar orang tampan, pakai pakaian usang pun masih terlihat tampan! Aku mendecak pelan sambil merogoh sesuatu di dalam tas kain. Walau kesan miskinnya belum hilang, setidaknya dia tampak lebih baik daripada mengenakan pakaian robek yang punya bekas darah.

"Pakai ini." Aku menyodorkan jubah lamaku kepadanya.

Mirtha mengangkat salah satu alisnya, tak langsung menerima jubahku.

"Pedangmu." Aku melirik pedang yang terselip di ikat pinggangnya. "Kau akan menarik perhatian."

Dia pun menerima jubahku dan mengenakannya. Dahinya berkerut saat mendapati panjang jubah itu hanya mencapai betisnya.

"Setidaknya sekarang kau terlihat seperti pengelana." Aku tersenyum puas melihat hasil pekerjaanku.

"Nah, kita bisa berkeliling dengan lebih santai. Dengan penampilanmu sekarang, mereka tidak akan mudah mengenalimu." Aku tersenyum lebar. "Sekarang tunjukkan jalan ke tempat tabib yang kau tahu, setelah itu, kita makan."

Mirtha berdecak pelan, terlihat tak bisa menolakku.

***

Tabib menyuruhku beristirahat selama 2-3 hari supaya lukaku benar-benar menutup. Selain itu, dia juga memberiku salep agar lukaku cepat kering. Setelah membayar biaya pengobatan, aku dan Mirtha mencari kedai untuk makan malam. Begitu menemukan kedai yang tidak terlalu ramai, aku memesan beberapa piring makanan dan kami langsung melahap semua itu sampai tandas. Sepertinya kami benar-benar kelaparan karena tak ada satu pun makanan di atas piring-piring tersebut yang tersisa. Semua ludes dalam sekali makan.

The Golden AnshokTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon