6. Bukan Keberuntungan Tanpa Sebab

532 68 5
                                    

Tiga tahun silam, aku mengambil keputusan yang membuatku kehilangan banyak hal, mulai dari orang kepercayaan, teman-teman seperjuangan, bahkan kepercayaan diri sendiri. Butuh bertahun-tahun lamanya, sampai aku berani keluar dari rumah perlindungan dan kembali berhadapan dengan kenyataan, meski masih terbebani dengan penyesalan. Karena keterburu-buruan dan ambisiku yang ingin segera menyingkirkan Ezbur justru menjerumuskanku dalam bahaya, hingga aku kehilangan Sigurd. Hal itu membuatku merutuki diri sendiri selama berbulan-bulan, bahkan hingga sekarang.

Aku tidak bisa lagi kehilangan orang-orang yang kukasihi, maupun orang-orang yang kupercayai. Mereka menggantungkan harapan dan nyawa mereka padaku, bukan untuk disia-siakan seperti itu. Karenanya, aku berusaha memperkecil risiko yang bisa membahayakan keberlangsungan Inaftri. Aku tidak akan lagi membiarkan kelompokku dalam bahaya seperti waktu itu.

Sesuai anjuran Mirtha, aku pindah ke penginapan lain. Walau uang sewanya agak mahal, aku merasa itu masih wajar karena letaknya yang strategis, berada di pusat kota sekaligus di tepi jalan utama. Selain itu, kamarnya pun lebih bersih dari kamar di penginapan sebelumnya, sehingga aku tidak keberatan mengeluarkan 25 Oskel untuk semalam. Kemudian aku bergegas ke Mosan yang berada di dalam Pasar Amurega untuk bertemu Safero. Namun, sebelum memasuki rumah ibadah, seseorang mencekal lengan kananku.

Aku terkejut dan spontan berusaha melepaskan diri. Namun, tangan lainnya sudah mencekal lengan kiriku. Begitu cepat mereka beraksi, sehingga aku tak sempat melawan. Tahu-tahu aku sudah dilumpuhkan. Kedua tanganku diikat di belakang punggung dan mereka menggiringku menjauh dari Mosan.

"Apa-apaan ini? Siapa kalian?" Aku memberontak, lalu berteriak minta tolong kepada orang-orang di sekitar kami. Namun, bukannya membantuku, mereka hanya diam menonton. Sungguh murah hati sekali!

"Diam!" Salah satu pria menampar pipiku. "Masih berani melawan setelah kabur? Budak kurang ajar!"

Aku tercengang sampai kehilangan kata-kata untuk sesaat. Budak?

BUDAK? Mau tidak mau aku teringat ucapan Mirtha kemarin mengenai orang-orang suruhan pedagang budak. Jadi, mereka belum menyerah untuk mendapatkanku? Keras kepala sekali mereka! Aku menggertakkan gigi sambil mencari celah supaya bisa kabur.

Orang-orang ini menyeretku menuju pintu keluar pasar. Namun, dua petugas keamanan berseragam merah gelap menahan langkah kami. Harapanku sudah tumbuh ketika melihat mereka. Hampir saja aku minta tolong pada mereka, tetapi permintaan itu tertahan ketika mendengar pertanyaan salah satu dari mereka.

"Apa yang kalian lakukan di sini?"

Didengar dari nada bicaranya, sepertinya mereka sudah saling mengenal.

"Menangkap orang yang tidak bisa membayar utang." Pria yang berdiri di sisi kananku mengambil sebuah kantong yang terselip di sabuk pinggangnya, lalu melemparnya ke arah petugas keamanan itu. Suara gemerencing dari kantong tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa keping Oskel di dalam sana.

Berengsek. Jadi, kemungkinan kedua petugas tersebut tahu siapa orang-orang ini. Sialan, mereka justru bersekongkol. Kalau sudah begini, aku tidak bisa meronta tanpa mendapat lebih banyak pukulan atau tamparan.

"Lain kali jangan membuat gaduh di dalam pasar. Kalian membuat orang-orang resah." Petugas keamanan tersebut menyimpan kantong uangnya di saku dalam seragamnya.

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mendengus. Pura-pura peduli pada orang lain, padahal dia sendiri mengumpankan orang lain untuk mendapat untung.

"Jalan." Lelaki di sisi kiriku menarikku supaya kembali melangkah.

Dengan kedua tangan terikat di belakang punggung dan lengan dicekal, otomatis gerakan tubuhku jadi terbatas. Satu-satunya yang bebas cuma kedua kakiku. Bagaimana caranya aku bisa mengambil kuda-kuda atau malah menghadiahi mereka satu tendangan tanpa membuat mereka melakukan gerakan antisipasi?

The Golden AnshokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang