WS 31

3.5K 209 9
                                    

Dia benar-benar pergi. Pergi untuk melupakanku, selamanya..

Oscar POV

Aku mendesah kuat, rasa sakit itu semakin menjadi-jadi, padahal semalam –kejadian baku hantam- rasa sakit itu terkesan mediocre. Aku menyentuh pelan bibirku yang sedikit bengkak atau parahnya pecah.

"Aww," rasanya seperti semacam ular cobra mematuk bibirmu, well, walaupun secara nyata aku belum pernah menikmati patokan ular.

Aku menggapai kunci mobilmu, aku akan pergi kesekolah. Sebenarnya, wajahku tidak terlihat begitu hancur. Tapi mungkin orang akan tau bila mereka melihat kearah bibirku –bibir bengkak dan sedikit membiru. Aku turun kelantai dasar dengan langkah besarku. Junior sedang sarapan tentu saja dibantu oleh penjaganya.

"Hai Junior, bagaimana tidurmu? Ada yang bisa kamu ceritakan?" tanyaku sambil mengelus pelan hidungnya.

Junior tersenyum saat menyadariku sudah berdiri tegak dihadapannya.

"Am-am, hhhhashmn," ujar Junior tak jelas.

Aku yakin, dia sedang mendeksripsikan tentang mimpinya. Aku dapat menangkap arti itu dari binar mata terangnya–hitam malam dengan tatapan tajam–yang membius.

"Oh ya?? Baiklah. Simpan cerita itu, dan ceritakan kembali saat Papa sudah pulang dari sekolah," ujarku mantap.

Lalu Junior menggeleng-geleng kepalanya dan kemudian bergumam tak jelas ke arah pengasuhnya.

"Sampai jumpa Junior," pamitku dan mencium puncak kepalanya.

Aku menuju garasiku, pikiranku sekarang tertuju kesekolah, dan menjelaskan semua, menjelaskan kepada Dave. Mungkin Dave akan melemparkan golok saat bertemu denganku, tapi aku tak akan peduli. Walaupun Dave akan melemparkan cicak sekalipun, aku akan terima.

Cicak adalah binatang yang paling kutakuti. Dulu, aku sempat dibawa kerumah sakit karena teman Sdku memasukkan reptil itu kedalam baju. Uhh, aku tak dapat menahan jeritku, hasilnya adalah aku berteriak layaknya seorang perempuan yang akan diperkosa, hihi, walaupun pada zaman ini aku yakin wanita tidak lagi menjerit saat diperkosa.

–oOo–

Aku tak menemukan dia, baik di kelas, ataupun di perpus. Sungguh, aku saat ini benar-benar kalut. Padahal tak biasanya dia terlambat–kecuali yang saat ditahan Ibu Rosi. Aku mendesah pelan. Sedikit rasa kesal juga menghampiri diriku, tahukah kalian bahwa semua orang melihat kearahku? Tepatnya bagian bibirku. Ingin rasanya aku membanting wajah mereka kepohon mahoni dan menggantung mereka ditiang bendera. Terlebih si Will, sahabatku.

"Kamu begitu bernafsu," Will melirik kearahku.

Aku mengangkat sebelah alisku.

"Apa maksudmu?" tanyaku tak mengerti.

"Atau mungkin wanita teman tidurmu yang terlampau bernafsu??" Will terkekeh.

"Bicara apa kamu? Aku benar-benar gak ngerti!" aku mulai jengah.

"Demi Nyi Roro Kidul! Ternyata kamu hanya pintar di bidang Fisika saja, dan kamu bodoh dalam hal mengartikan bahasa,"

Aku melotot kearahnya.

"Bibirmu. Apakah wanita itu terlampau bernafsu menciummu sampai meninggalkan luka seperti itu?"

Sial! Will benar-benar mengajak perang. Aku pun melayangkan tinjuku kearah perutnya, Will meringis. Kemudian aku pun keluar dari kantin dan tidak melanjutkan makan siangku.

"Heii!! Siapa yang bayar???!" Will berteriak.

Aku menoleh sejenak. Lalu mengangkat bahuku dan berlalu begitu saja.

Without SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang