Bab XXVI - Expression -

8.8K 443 55
                                    


Part ini aku dedikasikan untuk para Angel Nurse~ ini permohonan maaf atas penerbitan cerita Angel Nurse yang tertunda di dunia orange ini :( sorry guys, aku lagi gak mood nulis yang kocak-kocak dan berat. Aku lagi mood nulis yang baper. Efek SiN nih. Hahaha. Tapi tetap aku terbitin kok suatu saat. Entah kapan~ #plak.
Oke, langsung aja. Cekidooottt~

- Kiran -

Aku menundukkan kepalaku menatap cangkir di atas meja yang isinya Vanilla Latte yang belum ku sentuh sama sekali. Kepalaku bercampur aduk saat ini. Bercampur aduk tapi tema-nya tetap pada satu hal. Tidak, satu orang orang.

"Kiran, ini sudah 5 menit kita di sini dan kamu sama sekali belum ngomong apa-apa. Ada apa? Katanya mau curhat?" Suara Zia akhirnya mengema membuyarkan keheningan yang ada.

Aku menghembuskan nafas, mendongak menatap mereka satu per satu yang menatap ku dengan tatapan prihatin dan cemas. Mungkin mereka berfikir aku sudah gila. Aku yang biasanya selalu cerewet dan aktif, mendadak diam tak berdaya.

Aku kini berada di Coffe Shop langganan ku bersama para sahabatku- Angel Nurse. Aku sengaja mengumpulkan mereka malam ini untuk curhat tentang masalah ku dengan Rifan. Setelah insiden pelukan di tengah hujan, aku pulang diantar Rifan. Aku sempat menanyakannya, apa tak masalah jika aku curhat? Dan dia memperbolehkan kalau memang itu membuatku nyaman dan tenang. Dia bahkan memberikan libur selama seminggu di tempat praktek sampai aku tenang dulu. Ah, Rifan lelaki tercintaku yang pengertian, tapi egois.

Dan well, aku pun berencana curhat di Angel Nurse. Kenapa? Pertama, mereka adalah wanita. Biasanya "sesama" jenis kelamin sangat saling mengerti keadaan satu sama lain. Apalagi wanita -punya rasa simpati dan empati lebih tinggi dibanding para lelaki-. Kedua, mereka adalah sahabatku-setidaknya pengganti sahabatku setelah sahabat-sahabatku pada pergi begitu saja satu per satu. Mereka yang paling mengerti aku-setidaknya selama beberapa bulan ini. Ketiga, walau otak mereka rada sedikit miring kayak aku. Kecerdasan mereka jangan di tanya deh. Jadi, jika butuh solusi. Mereka pemecah terbaik. Dan ya, akhirnya, kita pun berada di sini. Tapi bukannya curhat ke mereka. Aku malah diam seribu bahasa begini.

"Ayolah Kiran, kamu pikir kita mengerti bahasa kalbu? Ngomong kek" kini She pun menyahut-tidak sabar akan mode diam ku.

Annisa, yang duduk di sampingku merangkul bahuku. Dan mengelusnya, "ada apa Kir? Kalau kamu diam kami takkan mengerti apa yang terjadi padamu. Ceritalah" suara Annisa lembut selembutnya plus senyum manisnya. Ah Annisa, adopsi aku jadi anakmu dong.

"Iya Kir, tujuan kamu ngumpulin kita mau curhat kan? Ayolah. Mana Kiran yang cerewet? Yang ceria? Jangan gini dong." Ayunda pun ikut menyemangati agar aku membuka suara.

Aku pun menghembuskan nafas berkali-kali. Mengigit bibir dan menatap mereka ragu-ragu. "Em.. Begini, Rifan. Rifan.. Mengajakku menikah" akhirnya suaraku pun bisa keluar.

"What??!" Seru mereka berempat bersamaan dengan ekspresi kaget mereka yang juga berbeda dan khas. Bahkan Ayunda yang tadinya hendak menenguk Capuccino-nya sampai keselek. Aku hanya diam dan menatap mereka dengan wajah entah bagaimana ini. Tapi di hatiku saat ini sangat sedih. Mungkin wajah sendu.

2 menit.

3 menit.

5 menit.

Mereka masih menatapku dengan ekspresi kaget mereka. Mungkin menunggu aku mengatakan, "becanda" dengan cengiran kuda bodohku. Tapi yang terjadi aku hanya menatap mereka dengan wajah senduku sedari tadi.

"Segitu gak mungkin ya Rifan ngajak aku nikah sampai kalian kaget gitu?" Aku akhirnya memutuskan menyadarkan mereka sebelum salah satu dari mereka kolaps dan harus di angkut di UGD.

Sunrise in NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang