Aku memutar bola mata. "Hari ulang tahunnya ngga masuk kategori alasan mengapa aku harus memutuskannya."

Aku pergi untuk mengambil lotion anti nyamuk di dalam laci nakas, saat aku kembali pada Fani dia melotot padaku. Kedua tangannya mengepal di sisinya.

Aku menghela nafas. "Aku ngga pernah ikut campur dengan urusan pribadimu, bisa ngga kamu melakukan hal yang sama terhadapku?"

"Aku mencoba memperingatkanmu," ujarnya kesal, "semakin lama kamu bersama dia, akan semakin sakit juga nanti saat dia memutuskanmu."

"Itu urusanku. Sejak kapan sakit hatiku menjadi urusanmu iuga?" balasku sama kesalnya. Saat melihat wajah marahnya semakin jelek aku menghela nafas, lagi. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, tapi aku akan menangani sendiri apa yang akan datang padaku."

"Kamu akan menyesalinya," ujarnya memperingati.

Entah karena nada suara atau karena emosi yang ada di wajahnya, atau mungkin karena keduanya tapi suatu perasaan aneh merayapi punggungku, membuatku merinding. Udara dingin mengiringi kepergian Fani dari kamarku di mana pintu malang itu menjadi pelampiasannya.

Elang datang satu jam kemudian. Aku yang memang sudah menunggunya di pinggir jalan langsung membuka pintu begitu mobilnya berhenti di depanku dan segera menyuruh Elang cepat pergi dari sana sebelum Bang Adid dan teman-temannya sadar dari kegaguman mereka terhadap Shelby, mobilnya Elang. Baru ketika sudah berputar arah Bang Adid tersadar dan menyerukan namaku serta Elang untuk berhenti.

"Harus yah pakai Shelby jemputnya?" Elang melirikku dengan seringaian kecil terbentuk di mulutnya. "Dasar tukang pamer," tambahku menggerutu sedangkan dia malah tertawa.

Sudah berhari-hari Bang Adid menggangguku. Mereka yang mulai tertarik dengan otomotif menyuruhku membujuk Elang agar mau meminjamkan motornya pada mereka setelah mencoba ngomong langsung pada yang punya tidak dikasih. Ketika omongan mereka hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiriku, mereka lalu mulai menyulitkan. Usaha kekanak-kanakan mulai mereka lakukan, dari menghalangiku keluar ketika Elang menjemputku sampai menyuruh kami putus kalau Elang tetap tidak mau meminjamkan motornya.

Lalu mereka mulai mengancam. "Lo pikir kalau orang tua kami tau bahwa 'hobi' lo adalah ikut balapan liar lo  masih bisa ketemu adek gue?" kata Bang Adam waktu itu sambil menarikku ke belakang punggungnya. Kedua abangku menyeringai meremehkan memandang Elang.

"Hm," Elang berguman nampak berpikir.

Aku hampir yakin kali ini dia akan menyerah, tapi kemudian dia membalas seringaian abangku dengan seringaian sombong miliknya sendiri. Merangkul bahu kedua abangku, dia mengajak mereka menyingkir, menjauh dariku lalu berbisik-bisik kemudian berdebat. Entah apa yang mereka bisikan atau perdebatkan, tahu-tahu saja kedua abangku memohon-mohon dengan menyedihkan pada Elang agar mereka memboncengnya saja kalau memang tidak boleh meminjam.

Aku menghela nafas nafas mengingat semua itu. "Kalau ngga mau mereka mengganggumu lagi ya udah deh ngga usah pamer segala."

"Sst. Aku sedang mengumpulkan alat barter tau."

Aku memandangnya bingung. "Barter?" Dia mengangguk. "Percaya deh, Bang Adid ngga punya barang yang akan menarik perhatianmu. Barang milik mereka yang berharga cuma sekumpulam action figure G.I Joe dan Star Wars."

Aku cemberut mengingat kejadian ketika aku dijewer dan dikurung di dalam kamar mandi gelap seharian sampai nangis hanya karena aku melukisi helm Darth Vader mereka dengan gliter dulu. Padahal cantik banget loh ada bunga dan kupu-kupunya gitu.

"Aku suka Star Wars."

Aku memutar bola mata. "Sure you do."

°°°×°°°

Heartbeat⇝Donde viven las historias. Descúbrelo ahora