Banana -13

7K 778 41
                                    

"Bodoh,"

Semua organ tubuhku sama sekali nggak beraksi. Bahkan otakku yang selalu sigap menangkap sinyal buruk pun, saat ini tak berfungsi total.

"Kenapa sih lo selalu bikin gue khawatir?"

Aku masih saja terdiam. Bahkan mulutku yang selalu berani membalas ucapan Nimo, sekarang mendadak bisu.

"Kapan sih lo belajar nggak bodoh?"

Dan kali ini ucapannya bikin tubuhku beraksi. Dengan kasar aku melepaskan diri dari pelukannya.

Aku menatapnya garang. "Kapan sih lo nggak bilang gue bod—"

Cup.

Tubuhku menegang seketika. Bukan cuma sekali bahkan Nimo mendaratkan ciuman didahiku berkali-kali.

Sampai Nimo menyudahi aksinya pun, aku masih saja tidak bisa berkata apa-apa. Otakku masih belum bisa mencerna apa yang barusan terjadi.

"Ini harus sering diobati biar cepat sembuh. Kalo nggak bakal ninggalin bekas" katanya sambil menunjuk kakiku yang luka dan membuka kotak P3K.

Lagi-lagi aku tidak merespon ucapannya. Lidahku terasa kelu dan tenggorokanku rasanya tercekat. Rasanya susah buat ngeluarin suara, seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal dikerongkonganku.

Tetapi, mataku masih terus mengawasinya. Bahkan sampai dia selesai mengganti perban dipergelangan kakiku, mataku nggak berpaling sedetik pun dari Nimo.

"Udah baikan?" tanyanya.

"Lo ngapain barusan?" tanyaku balik.

Dahi Nimo mengerut rapat. "Gue barusan ngobati luka lo. Ada yang salah?"

Aku mendengus sebal. "Bukan itu. Sebelumnya maksud gue,"

"Oh. Maksud lo morning kiss?"

Emosiku seketika naik ke ubun-ubun. Sepertinya otakku sudah kembali bekerja seperti biasanya. Baru saja aku mau ngebotakin rambutnya, suara Chery menginterupsi.

"Kak Nimo dicariin bang Dino,"

Nimo mengacak rambutku pelan sebelum keluar dari tenda ini. "Gue pergi bentar,"

"Duuh. Romantisnyaa. Aaa, gue cemburu," kata Chery.

Glek.

Kok aku bisa lupa kalau disini ada pacarnya ya?

"Nggak usah bawel deh lo," ujar Nimo sembari membawa Chery pergi bersamanya.

Melihat pemandangan itu tiba-tiba bikin dadaku berdenyut nyeri. Nggak kayak biasanya, kali ini aku terlalu sentimen kalau sudah menyangkut Nimo.

Aku merasa... Aku cemburu.

"Hai," sapaan seseorang mengalihkan pikiranku.

Didepan tenda, Angkasa tengah memasang senyum hangat. Kali ini entah kenapa jantungku nggak berdetak hebat kayak biasanya.

"Hai," sapaku.

"Udah baikan?"

Aku menggeleng pelan. "Masih sedikit sakit. Tapi udah lumayan sih,"

"Bagus kalau gitu. Gue seneng dengernya. Cepat sembuh ya,"

"Makasih,"

Angkasa mengangguk dan lagi-lagi tersenyum hangat. "Udah sarapan?"

"Belum," aku menggeleng.

"Gue ambilin ya. Tunggu sebentar"

Setelah mengatakan itu Angkasa berlalu dari depan tenda. Angkasa baik ya? Nggak salah kalau aku pernah suka sama dia.

BananaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang