Chapter Four - Fate?

Start from the beginning
                                    

"Mbak, pacarnya so sweet banget loh." Ucap seorang ibu-ibu yang mengantri di belakang Jace dan dari ucapannya, mendengar seluruh percakapan Jace dan Sam.

Jace memelototkan matanya sebelum mendengus kesal -kebiasaan yang pasti mendapatkan pukulan di pantat jika dia lakukan di depan neneknya.

"Dia bukan pacar saya!" Ucapnya tegas sebelum membalikan wajahnya ke arah depan dan mendapati Sam sedang menatapnya sambil tersenyum geli.

Jace menaikan alisnya dengan menantang sebelum Sam kembali berbalik sambil terkekeh pelan untuk menyelesaikan transaksi belanjanya. Ia kemudian bergerak dari antrian dan menuggu di sebelah meja kasir, menunggu Jace.

Jace harus berusaha keras agar tidak terjatuh ke depan saat maju dan mengeluarkan barang-barangnya dari trolly. Ia menyadari kasir di hadapannya melirik kecil ke arahnya dan Sam sebelum menahan senyumnya, mengakibatkan Jace memutar bola matanya frustasi. Saat kasir menyebutkan total belanjaannya, Jace mengeluarkan debit card dari dompet yang berada di dalam tas tangannya dengan cepat, tersenyum kaku ke arah kasir dan mengucapkan terimakasih saat transaksi selesai. Jace kemudian menggenggam kedua plastik belanjaannya dan berusaha mengangkatnya saat sebuah tangan kokoh mengambilnya duluan dari tangan Jace.

"Pizza?" Tanyanya sambil berjalan duluan dengan kantong belanjaan Jace di tangannya.

Jace hanya bisa memandang punggung laki-laki yang bergerak ke arah salah satu restoran pizza dengan mulut yang terbuka lebar sebelum akhirnya sadar dan berjalan cepat mengikuti langkah kaki Sam yang lebar.

Kantong belanjaan gue- the nerve of that guy!

Jace tidak tahu apa yang terjadi ketika tahu-tahu dia sudah duduk di salah satu bangku yang disediakan restoran Pizza itu. Jace melirik ke arah kasir dan melihat Sam sedang mengatakan sesuatu kepada kasir dan menunjuk menu yang ada di hadapannya.

Tadi laki-laki itu mengatakan sesuatu seperti "peperroni" dan "keju" yang dibalas Jace dengan anggukan cepat dan kemudian menengok ke arah luar restoran.

Memperhatikan orang-orang yang beralalu lalang di depan restoran ini -restoran Pizza ini memang berada di bagian dalam supermarket, sehingga banyak orang yang lewat membawa trolly atau kantung belanjaan mereka. Beberapa orang terlihat sibuk dengan anak-anak mereka yang mencoba membuka isi plastik di dalam trolly.

"Mikirin sesuatu?" Suara berat itu membawa Jace kembali sadar dan mendapati sebuah botol air mineral dingin di depannya.

Emm, yeah, my stupid mouth that land me in this situation with you.

Jace menggeleng pelan.

"Ah, saya lupa tadi mau tanya kamu mau minum apa. Tapi saya lihat kamu agak pucat, jadi saya belikan air mineral aja. Are you fine with it? Atau perlu saya ganti dengan yang lain?" Tanyanya sambil menghentikan niatan untuk duduk dan menunggu Jace menjawab.

"Ah nggak, it's fine. Thanks." Jawab Jace cepat membuat laki-laki itu kembali tersenyum dan duduk di hadapannya. Jace sendiri merasa perutnya sedikit sakit dan melirik ke arah jam tangannya, jam setengah tiga sore.

Terakhir Jace makan adalah jam delapan pagi sebelum berangkat ke flat Auntie, jadi pantas saja perut Jace sudah protes keras. Jace membuka tutup botol air mineral itu dan meminumnya pelan-pelan, memejamkan mata saat perutnya yang kosong tersiram air dan membuatnya jadi semakin perih.

"You okay?" Laki-laki itu ternyata memperhatikannya dari tadi, dan pertanyannya barusan hampir saja membuat Jace menyemburkan isi mulutnya ke wajah laki-laki itu.

Tapi alih-alih tersembur, air itu membuat Jace tersedak hingga ia batuk-batuk dan harus menarik napas sedalam mungkin.

"Maaf, kamu kaget ya? Saya gak seharusnya nanya tiba-tiba waktu kamu lagi minum seperti itu." Laki-laki itu terlihat panik dan menyodorkan tissue ke arah Jace -yang diterimanya dengan sukacita.

Number One (completed)Where stories live. Discover now