BAB IX : PRIDE

Mulai dari awal
                                    

            Seret dia dengan kereta kuda! Sesah dia! Remukkan tulang-tulangnya! sorak segenap hadirin.

            Nandi tidak mempedulikan kata-kata itu. Ia sadar menang atau kalah iblis-iblis ini tetap akan ingkar janji. Tapi di benaknya ia berpikir : jika ia punya kesempatan untuk bisa menghajar Calya sekali saja di sini, ia akan mengambil kesempatan itu, apapun resikonya.

            Calya mengambil posisi kuda-kuda, sementara Nandi mulai mengayun-ayunkan pedangnya dengan kelihaian yang sama dengan yang ia dapat semasa ia hidup dulu. Calya menerjang lebih dulu, ia melayangkan tinju tangan kanannya ke arah kepala Nandi, Nandi berkelit dan tinju itu menghantam lantai yang menjadi pijakan mereka. Lantai batu itu langsung hancur dan menimbulkan retakan berdiameter dua meter.

            Nandi terperangah untuk sesaat sebelum sadar bahwa Calya kembali menerjang ke arahnya. Nandi merunduk lalu mengayunkan pedangnya dan pedang itu menggores perut Calya kemudian ... pedang itu patah.

            “Hah?” Nandi terkejut ketika mendapati pedangnya sudah patah bilahnya. Belum sempat ia bereaksi lebih lanjut sebuah pukulan keras sudah mendarat di perut kirinya lalu menghempaskan dirinya ke salah satu sudut arena setelah sebelumnya dirinya sempat menghantam tembok arena.

            “Ugh!” Nandi mengerang ketika dirinya mencoba bangkit kembali.

            “Mengecewakan, beginikah dirimu tanpa kekuatan Contra Mundi?” tiba-tiba Calya sudah berdiri di hadapannya. Nandi bereaksi dengan langsung melayangkan pukulannya ke kaki Calya, berharap itu akan menyakiti iblis itu, tapi ia merasa dirinya habis memukul sebuah tiang baja yang keras sekali. Calya mencengkeram tangan Nandi lalu melemparkan pemuda itu ke sisi lain arena.

            Kembali tubuh pemuda itu menghantam dinding arena yang keras lalu terhempas di lantai batu yang kasar. Darah kembali mengucur dari seluruh luka di tubuhnya, mulai dari kaki, tangan, dan punggung, kepala dan perut. Pemuda itu mendesah putus asa, menyadari bahwa ia telah melakukan perlawanan yang sia-sia.

            Calya sendiri dengan kecepatan yang tak dapat ditangkap mata manusia sudah bergerak dan berdiri di hadapan Nandi. Ia kembali menatap sosok pemuda itu dengan tatapan mengejek sementara si pemuda menengadah dan membalasnya dengan tatapan penuh dendam.

            “Kau kalah Nandi.”

            “Masih belum,” Nandi mencoba berdiri kembali meski tubuhnya gemetaran akibat menahan rasa sakit.

            “Ayolah, menyerah sajalah dan terima nasibmu.”

            “Nasibku sebagai mainan bagi kau dan teman-temanmu? Kau sudah memberiku kesempatan untuk melawan, karena itu ... aku akan terus melawan.”

            “Tekad yang mengagumkan,” sebuah kabut hitam tiba-tiba menyelimuti Calya dan dalam sekejap ia berubah menjadi sosok iblis yang seluruh tubuhnya berwarna hitam kelabu setinggi 4 meter dan dari punggungnya dua buah sayap seperti sayap kelelawar mencuat dari punggungnya. Kepalanya sendiri berubah wujud menjadi sosok wajah manusia yang sudah rusak tanpa mata dan hidung-digantikan oleh sebuah lubang hitam yang seakan hendak menyerap jiwa siapapun yang menatapnya.

            Penonton kembali bersorak sementara Calya menjepit tubuh Nandi yang sudah tak berdaya itu dengan dua jari tangan kirinya.

            “Apa yang harus kulakukan pada anak ini?” Calya berseru.

            Patahkan kaki-tangannya, remukkan tulang-tulangnya, sayat dagingnya bagian demi bagian!

            “Lihat apa yang mereka ingin aku lakukan padamu, Nandi. Tampaknya ... tindakanmu selama hidup membuat para iblis sangat membencimu.”

Contra Mundi II - Anak-anak ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang