BAB IX : PRIDE

1.1K 57 13
                                    

 Sebuah tempat yang tidak diketahui

            Sebuah keramaian tengah terjadi. Sekumpulan makhluk-makhluk ganjil tengah berkumpul dengan duduk melingkar di tengah-tengah sebuah tempat yang tampaknya adalah arena pertarungan. Makhluk-makhluk itu bersorak-sorai atas sesuatu yang tengah terjadi di tengah-tengah arena.

            Seorang pria botak berbusana kemeja putih bergaris biru dan bercelana hitam masuk ke tengah-tengah arena. Ia melambai kepada segenap makhluk-makhluk ganjil yang ada di sana dan mereka pun membalasnya dengan bersorak makin keras. Tak berapa lama kemudian, masuklah ke dalam arena itu dua makhluk ganjil bertubuh manusia dan berkepala hewan. Seorang berkepala singa dan seorang berkepala banteng. Mereka menyeret seorang pemuda yang sekujur tubuhnya sudah berlumuran darah dan hanya mengenakan kain putih kumal sebagai penutup bagian pribadinya. Rambutnya pendek kusut dan wajahnya penuh dengan ruam biru-merah, memar.

            Kedua makhluk itu membanting sang pemuda di hadapan sang pria botak. Pemuda itu jatuh tersaruk seolah bersembah sujud di hadapan sang pria botak. Si pria botak tersenyum penuh arti lalu memandang ke arah tribun penonton di mana sesosok manusia – pria – berambut panjang yang diikat ekor kuda tampak duduk di sebuah kursi mirip singgasana dengan kaki diangkat ke sebuah meja berukir.

            “Harusnya kau beritahu aku – jika anak ini dalam genggamanmu – lebih cepat Abaddon,” ujar pria botak itu.

            “Maaf Calya, aku sedang sibuk sehingga aku alpa memberitahumu. Oke ... sekarang anak itu milikmu. Silakan perlakukan dia sesukamu,” ujar si rambut panjang yang dikuncir ekor kuda.

            Si pria botak berlutut di hadapan sang pemuda lalu dengan kasar menjambak rambut si pemuda dan memaksa si pemuda menatap wajahnya, “Halo Nandi.”

            “Calya ... mau apa kau kemari,” pemuda itu mendesah lirih.

            “Hmm ... jika aku ingat-ingat kurasa kau pernah bersumpah untuk membunuhku bukan?”

            “Jika aku bisa lakukan itu sekarang, maka akan kulakukan.”

            “Wow, aku tak menyangka tekadmu yang itu masih ada.”

            Bunuh dia! Cincang dia! Buat dia menjerit seperti anak perempuan! Sorak-sorai di tribun penonton semakin riuh.

            “Aku menawarkan sesuatu padamu Nandi, jika kau berhasil bertahan melawanku selama satu jam maka kau akan dikembalikan di negeri orang hidup. Bagaimana?”

            “Iblis takkan pernah menghormati perjanjian.”

            “Begitukah? Lalu bagaimana kau menjelaskan mengapa aku tak pernah membunuh kedua tuanku, Nandi? Aku Iblis tapi aku juga punya harga diri dan kehormatan.”

            Nandi terdiam selama beberapa saat sembari mencoba bangkit berdiri tegak kembali, sebuah hal yang tidak mudah karena ia tampak sekali habis dihajar habis-habisan.

            “Bagaimana Nandi?” tanya Calya sekali lagi.

            “Baiklah,” jawab Nandi.

            “Oke, pegang ini!” Calya melemparkan sebilah pedang yang sudah berkarat pada Nandi. Nandi menangkapnya dengan tangan gemetar.

            “Kalau kau lolos kau bebas, kalau kau kalah ...,” Calya tidak melanjutkan kata-katanya melainkan menatap seluruh hadirin dan meminta mereka yang ada di sana memberitahu konsekuensi yang ia maksud.

Contra Mundi II - Anak-anak ManusiaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora