01 | Pertemuan

88K 4.8K 121
                                    

"Lo seriusan nampar dia, Shab?" tanya Delia, sahabatku.

"Yap."

"Nampar pipinya?" tanyanya lagi memperagakan gerakan 'tamparan'.

"Aha."

"Gila. Lo memang gila."

"Terima kasih," ucapku membalas cercaannya.

Aku baru saja menceritakan kisah tragisku mengenai diriku yang hadir dipernikahan mantanku, Romi. Jika diingat-ingat, aku benar-benar seperti cewek stress yang kabur dari rumah sakit jiwa dan datang ke acara pernikahan mantan terkampret. Niatku dulu sih, mau merusuh di acara resepsinya. Tapi gara-gara nasihat seseorang, aku jadi mengurungkan niatku dan hanya menampar Romi saja. Dan sekarang, aku malah menyesl. Ya, harusnya aku benar-benar mengacak-acak acara resepsinya seperti dia telah mengacak-acak kehidupanku.

"Terus sekarang gimana?" tanyanya sembari mengulurkan album photo ke arahku. "Move on?"

"Iyalah, gue nggak mau ngegalauin dia lagi."

"Ya tapi kan, nggak perlu pindah juga kali, Shab."

"Nyokap yang nyuruh," jawabku lesu seraya memasukkan beberapa barang ke dalam koper.

"Lo juga sih, pake acara ngamuk di acara Romi. Nyokap lo pasti ngira lo udah beneran gila."

"Cuma nampar doang, nggak ngamuk kok," elakku.

"Jadi sekarang, lo bakalan tinggal sama Bokap lo?"

Aku mengangguk. Membayangkan harus pergi jauh dari tempat ini rasanya agak gimana gitu. Rela nggak rela sih. Tapi, bagaimana lagi, Mama sudah mengira bahwa aku benar-benar gila karena Romi. Dan Mama takut, jika aku masih di sini, bisa-bisa aku nekat pergi ke rumah Romi dan membunuhnya. Hei, segila-gilanya aku, nggak mungkinlah, sampai aku membunuh orang.

"Semarang itu jauh, Shab." Delia merentangkan kedua tangannya yang membuatku menghambur ke pelukannya.

"Gue bakalan kangen banget sama lo, Del."

***

Kupandangi rumah yang berada di hadapanku dengan lesu. Rumah bergaya minimalis ini terlihat mungil dengan halaman rumah yang tidak luas. Terdapat banyak tanaman berwarna hijau serta beberapa bunga mengiasi halaman rumah ini. Welcome home Shaby.

"Shaby," terdengar suara dari arah belakangku. Aku menoleh dan kudapati Papa tengah tersenyum lebar ke arahku. Papa terlihat sangat bahagia ketika melihatku. Kontan aku ikut tersenyum lebar ketika melihat beliau.

"Papa," ucapku seraya menghambur ke pelukannya. "Shaby kangen sama Papa."

"Papa juga kangen sama kamu, nak. Sudah lumayan lama Papa nggak lihat kamu. Sekarang kamu tambah cantik. Putri kecil Papa." Papa melepaskan pelukan kami dan memandangku haru.

Aku dan Papa memang sudah lama tidak bertemu. Sejak perceraian Papa dan Mama setahun yang lalu, Mama memintaku untuk ikut dengannya. Meskipun dalam hati yang paling dalam aku tidak ingin meninggalkan Papa, tapi bagaimana lagi, aku pun tidak bisa jauh dari Mama. Dan mungkin sekaranglah waktuku untuk kembali tinggal bersama Papa.

"Ayo masuk," ucap Papa seraya mengambil alih koper yang tadi kubawa dan menariknya menuju dalam rumah.

"Papa sekarang kurusan. Papa sehat, kan?" tanyaku seraya mengikuti Papa masuk ke dalam rumah.

"Iya, Papa sehat kok. Kamu sendiri sehat, kan?"

"Iya, Shaby sehat, Pa. Mama juga sehat. Nenek sama Kakek juga di sana sehat."

"Syukurlah kalau mereka juga sehat."

Kupandangi bagian belakang tubuh Papa yang tak setegap dulu. Papaku kini terlihat sedikit rapuh. Apakah perubahan itu karena Papa yang telah termakan usia? Ataukah karena Papa di sini sendirian dan tidak ada yang merawatnya seperti dulu?

Seketika aku merasa sangat sedih. Hatiku bagaikan teriris membayangkan hari-hari Papa yang ia lewati sendirian di sini. Papa pasti kesepian. Aku benar-benar tak tega membayangkannya.

"Ini kamar kamu," ucap Papa seraya membukakan pintu kamar di lantai dua rumah ini. "Memang tidak sebesar kamarmu di rumah yang dulu. Tapi cukup nyaman."

Ya, kamar ini memang tak sebesar kamarku dulu. Tapi kamar ini memang cukup nyaman. Ada satu lemari berdiri kokoh di depan tempat tidur. Meja rias, di sebelah tempat tidur, meja belajar di sisi yang lain dan ada kamar mandi dalam juga. Cukup lengkap.

"Istirahatlah," ucap Papa tersenyum lembut ke arahku. "Papa akan siapkan makan malam spesial untuk kita berdua."

Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Setelahnya, Papa meninggalkanku sendirian di kamarku. Oke, saatnya menata semua barang-barangku di sini.

Semoga aku betah.

***

Kulihat Papa tengah sibuk dengan peralatan dapurnya. Ya, Papa adalah seorang koki hebat di rumah. Dulu Papa sering membuatkan makanan kesukaanku. Dan selama yang kutahu, masakan Papa adalah masakan terlezat yang pernah kumakan.

"Biar kubantu, Pa," ucapku mendekatinya.

"Nggak usah, Shaby. Kamu istirahat aja, kamu pasti masih capek."

"Shaby nggak capek kok."

Tingtong ... tingtong ....

Kini terdengar bel rumah berbunyi yang membuat Papa cepat-cepat mencuci tangannya.

"Biar Shaby aja yang buka, Pa," ucapku yang membuat Papa terlihat berpikir sejenak. "Secapek-capeknya Shaby, masih mampu kok kalau disuruh bukain pintu," lanjutku yang membuat Papa terkekeh.

"Oke."

Papa masih sama, seorang yang sangat sayang kepadaku. Beliau juga selalu peduli terhadapku. Ya, aku adalah putri kecilnya.

Kemudian aku berjalan meninggalkan dapur untuk menuju ke ruang tamu. Tanpa pikir panjang, langsung kubuka pintu yang berada di hadapanku. Senyum yang semula terukir di bibirku kini langsung lenyap dan berganti tatapan horror ketika kulihat sosok yang berdiri di hadapanku tersebut. Bahkan kurasakan detak jantungku seakan berhenti ketika aku menyadari siapa yang berada di balik pintu ini.

"Shaby," ucapnya terdengar kaget dan bingung.

Dia adalah Romi.

==========++++++++=========

[21.08.2015]

Cerita baru, semoga pada suka ya ...

Thanks for coming!

Sweet DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang