"Ternyata Mas belum ngerti juga? Aku cuma... belum siap. Aku butuh waktu."

"Oke. Waktu." Malio mengangguk pelan, tapi frustrasinya jelas. "Tapi sampai kapan? Berapa lama lagi aku harus terus—"

"Cukup, Malio." Suara itu datang dari Madisa, memotong, ia menatap lelaki di sampingnya itu. "Bisa tolong tinggalin saya sama Miranda di sini?"

"Apa?"

"Karena Miranda pasien saya. Saya berhak atas pengobatannya. Tolong tinggalin kita berdua."

"Ini bukan rencana awal kita, kamu tahu itu."

"Ya, sebelum kamu seenaknya kayak tadi Malio, paham?"

Seakan tak bisa menolak, Malio akhirnya keluar dari kamar itu. Sebelum benar-benar melangkah pergi, ia sempat menatap bola mata Madisa—tajam, seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan tapi ditahan. Lalu ia pergi tanpa sepatah kata pun. Rasanya seperti Madisa baru saja menghipnotisnya; membuatnya mundur begitu mudah.

Kini hanya tersisa dua perempuan itu.

Madisa lantas mendekat perlahan, lalu duduk di sisi ranjang, tepat di samping Miranda. "Apa kamu mau aku lepasin ikatan ini, Miranda?"

"Enggak perlu,"jawab Miranda cepat. "Ikatan ini atas kemauan aku sendiri— setelah tahu kalian bakal datang."

Atas kemauan sendiri? Kening Madisa mengernyit.

"Boleh aku tahu apa alasan kamu sampai harus begini?"

Miranda menatap sekeliling kamar, seolah mencari kata yang tepat. "Karena setiap kali ada Mas Malio... aku selalu hilang kendali. Aku nggak tahu kenapa. Lihat dia aja rasanya kayak ada tekanan berat di diri ini."

"Dan siang tadi? Waktu Malio nyamperin kamu?"

"Semuanya aman. Karena ada Papa."

Madisa terdiam. Ah, sebentar. Apa ini alasan Jim membatasi pertemuan mereka? Karena setiap kali berhadapan dengan Malio... Miranda akan kehilangan kendalinya? Dan penyebabnya? Bisa jadi karena Malio terus menekan Miranda soal kehamilannya.

Untuk saat ini itu adalah asumsi Madisa.

"Mulai kedepannya, jangan siksa diri kamu sama ikatan ini lagi, Miranda. Aku bakal bantu kamu lewatin semuanya. Kita mulai pelan-pelan, ya? Tenang, aku bisa jadi apa aja supaya kamu nyaman."

Madisa pun membuka perlahan ikatan di kaki dan tangannya. Dan ternyata, diam-diam, hal itu membuat Miranda tersenyum, menyeringai, penuh arti.

***

GLARRrr!

Suara petir menyambar hebat bersamaan dengan mobil Malio yang berhenti di depan rumah Madisa. Sontak, Madisa menjerit melengking di tempat. Teriakan itu begitu dekat dan menusuk, membuat Malio yang bersampingan reflek menutup mata seraya meringis. Sungguh, gendang telinganya serasa ditarik paksa!

"Hujan sama petirnya besar banget!" ujar Madisa, wajahnya terlihat panik.

"Iya saya juga tahu. Jadi kapan kamu turun?" Malio menjawab datar, tanpa basa-basi.

Mendengar itu Madisa melengos, tak habis pikir akan diusir halus. "Tanpa kamu tanya saya juga mau turun."

"Sekarang?"

"Iya karena yang punya mobil udah ngusir supaya cepet-cepet turun, kan?"

"Kamu bawa payung?"

"Enggak usah, udah deket, kok."

"Bawa payung atau nggak?"

Tangan Madisa yang sudah terulur ke tuas pintu mendadak batal. Ia menoleh dan menggeleng, "Nggak."

​"Tunggu sebentar." Malio pun memutar punggung, menarik sebuah payung lipat kecil dari jok belakang. "Pakai payungnya," katanya kemudian, menyodorkan.

"Makasih tapi maaf, itu nggak perlu, Malio. Ini cuma beberapa langkah juga sampai."

"Sama kayak kata kamu barusan, hujanya besar—dan angin. Lagipula saya nggak nagih biaya sewa payungnya. Atau mau saya antar?"

"Kamu—apa?"

"Saya antar?"

Madisa terkekeh, wajahnya mentertawai, sampai akhirnya......

GLLAAARRR!!!

"WWWUUAAAAA!!!!"

Wajah Madisa berubah total secepat suara petir yang menggelegar lebih besar membelah langit. Ia refleks menjerit lagi. Namun—terlebih dari hal tersebut, ada yang lebih membuatnya panik lagi. Ya, kini lengan Madisa tampak sudah melingkari leher Malio. Memeluk.

H-hei...?

Di antara gemuruh hujan dan suara dentuman yang masih terdengar samar di luar, keduanya mendadak membeku. Madisa masih menempel pada Malio, erat dan panik. Payung yang tadi ada di tangan Malio sudah terjatuh ke lantai mobil.

Anehnya tak ada yang bergerak. Tak ada yang bicara. Mereka terlalu sibuk mencerna. Hanya jeda singkat sampai akhirnya —brrt-brrt— suara ponsel Malio memecah keheningan.

Mereka sama-sama tersentak. Saling berdehem canggung. Madisa buru-buru melepaskan diri dan mengalihkan pandangan ke jendela. Sementara itu, Malio langsung meraih ponselnya, mengangkat panggilan seolah tadi tidak terjadi apa-apa.

Hanya sebentar. Tak lebih dari dua menit panggilan tersebut berakhir.

"Madisa," panggil Malio kemudian. Perempuan itu pun menoleh. "Sebelum pergi dari rumah Om Jim tadi, apa kamu sempat lepas ikatan Miranda?"

Cukup terkejut mendapat pertanyaan tersebut. Dengan heran Madisa menjawabnya, "Iya, kenapa emang?"

Tepat. Malio pun menghela dalam, seolah baru saja memasuki sebuah lubang masalah.

"Ada apa, Malio?"

"Miranda hilang. Dia pergi dari rumah setelah kita pergi dari sana. Kamu belum ngerti gimana kondisinya. Dia baru aja manfaatin kamu. Seharusnya kamu ngobrol dulu sama saya sebelum bertindak. Ikatan tali itu bukan tanpa alasan."

Apa?

Ini lebih mengejutkan dibandingkan sambaran petir dan memeluk Malio tadi. Madisa bergeming, tak bisa menjawab. Pikirannya menjuru pada satu hal. Merasa bersalah dan bodoh di waktu yang bersamaan.

"Dan lebih baik sekarang kamu turun, Madisa. Terserah mau pakai payungnya atau nggak. Saya nggak punya banyak waktu. Kedepannya saya harap kamu bisa lebih baik dalam mengenali pasien sendiri."

Lebih baik dalam mengenali pasien sendiri. Kalimat tersebut entah kenapa seolah memukul Madisa telak.

***

hi loves, gimana bab kali ini?

nulis madisa malio jadi dejavu erion jeha deh haha

nulis madisa malio jadi dejavu erion jeha deh haha

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"wuuuuuuua"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 05 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RESCRIPTWhere stories live. Discover now