3. Hug!

43 12 11
                                        

Prediksi cuaca yang gagal.

Malam hari disambut hujat lebat.

Madisa tergelonjak kaget—memejamkan mata sejenak, saat kilatan petir bagai flash kamera menyambut dirinya yang baru saja membuka pintu, melangkah keluar. Astaga! Hampir saja ia jantungan. Tolong salahkan lelaki bernama Malio itu karena mengajaknya bertemu disaat hari sudah gelap. Padahal, Madisa sempat menawarkan di jam makan siang yang mana cuacanya masih bagus.

Tin!

Suara klakson mobil—yang hampir saja membuat Madisa jantungan part dua, berasal dari mobil hitam yang kini berhenti di depan rumahnya. Mobil yang sebumnya pernah ia tabrak dengan sengaja. Dalam diam, Madisa mengingat momen itu. Ugh.

"H-hai, malam," ujar Madisa, begitu masuk mobil setelah berlari kecil. "Ayo jalan," katanya. Kini ia sudah menutup pintu dan duduk manis di samping kemudi. Tapi anehnya, Malio tak hendak menginjak pedal gasnya.

"Jalan, Malio. Kamu nggak lihat di luar hujan besar? Mau nunggu apa?"

"Pasang sabuk pengamannya dulu."

Sontak Madisa menunduk, "Oh." Ia pun bergegas memakainya sampai akhirnya mobil melaju membelah hujan.

Rencananya, mereka akan berkunjung ke rumah Miranda atas kemauan Malio.

"Ngomong-ngomong, boleh saya tanya sesuatu?" tanya Madisa, di tengah-tengah keheningan mereka.

"Perihal apa? Uang?" jawabnya, tetap fokus ke depan sana.

"Uang apa—oh, transferan itu?" Sebetulnya bukan itu yang ingin Madisa tanyakan, tapi boleh juga membahasnya sekarang. "Uangnya berhenti di saya karena kalau saya balikin, kamu pasti kirim lagi dengan kelipatan lebih besar. Betul?"

"Itu kenapa saya nggak mau terima uang jajanmu itu."

Madisa menyeringai, separuh geli dan separuh tersinggung. "Saya nggak balikin bukan berarti saya ambil. Nanti juga saya kirim lagi. Saya cuma males ngeladenin permainan transfer konyol itu."

"Lebih konyol mana sama permainan sengaja tabrak mobil orang punya kamu, Madisa?"

Dalam beberapa detik, Madisa bergeming. Ia cukup terkejut—bukan karena pertanyaan barusan, melainkan karena kedua mata Malio yang menatapnya dalam bertepatan dengan mobil yang berhenti di lampu merah.

"O-oke saya minta maaf soal tabrak itu. Saya akui itu kelewatan."

"Bagus kalau kamu sadar."

"Y-ya." Ya, ampun.. lagi-lagi tatapan intimidasi Malio mengeluarkan auranya! "Kapan terakhir kali kamu ketemu Miranda?" tanyanya kemudian.

"Siang tadi. Kenapa?"

"Kenapa nggak ajak saya sekalian supaya malamnya nggak perlu?"

"Karena saya jadi punya alasan buat ketemu lagi sama Miranda."

Madisa diam, menelan ludah pelan. Setahunya, ayah Miranda memang membatasi semua pertemuan antara mereka. Entah apa alasan dibaliknya.

"Menurut kamu, kenapa Om Jim nggak bawa Miranda ke rumah sakit langsung alih-alih nyewa psikiater kayak saya?"

"Kenapa kamu bertanya begitu?"

"Ya, saya rasa... Miranda bisa cepet pulih kalau dirawat di sana bukan?"

Entah salah lihat atau tidak, tapi Madisa melihat lelaki di sampingnya tampak menyunggingkan bibirnya, tersenyum tipis.

Lantas Malio menjawabnya, "Apa itu berarti pakai jasa psikiater kayak kamu nggak menjamin kesembuhan pasiennya?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 05 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RESCRIPTWhere stories live. Discover now