2. We Need Each Other

74 19 4
                                        

Selamat pagi.

Madisa memangku dagu dengan satu tangannya di atas meja makan. Melamun, entah memikirkan apa. Ah, tapi jika mau menebak.. apa ia sedang memikirkan kejadian semalam?

Benar.

Madisa memang sengaja menabrak belakang mobil Malio. Ia sudah mengikuti mobilnya sejak lelaki itu keluar dari kantor. Madisa memang mencari perkara, hanya demi tahu seperti apa sebenarnya sosok Malio Gama itu. Dan ternyata, Malio cukup intimidatif. Tatapan matanya yang tajam masih terekam jelas di kepala Madisa, seolah menuntut penjelasan tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.

Pantas saja Miranda sampai trauma?

Akan tetapi tunggu dulu. Ia belum mendengar cerita lainnya dari sisi Malio. Rencananya, Madisa akan mengajak lelaki itu bertemu—walaupun tidak tahu bagaimana caranya karena pasti namanya sudah di blacklist. Ya, kan?

"Pagi-pagi melamun, Sa," ujar Irina, menegur putrinya seraya membawa sepiring pancake dengan aroma pisang. "Untung mama datang pagi ini, kalau nggak, mau makan apa kamu? Telur sebutir aja nggak punya. Belanja ya nanti, jangan dibiasain kosong banget takutnya ada kebutuhan mendadak."

Madisa hanya bergumam pelan, "Ya, Mam." Ia lalu menggigit kuenya tanpa menambahkan apa pun lagi. Untuk setetes madu saja ia tak punya—karena malas membeli.

Tinggal terpisah dari putri semata wayangnya membuat Irina kerap diliputi cemas. Itulah sebabnya, minimal tiga hari sekali ia selalu datang berkunjung. Seperti pagi ini. Melihat stok bahan makanan yang kosong membuatnya ingin mengomel saja rasanya. Bagaimana tidak? Madisa yang kekeh ingin punya rumah sendiri, tinggal sendirian, tapi untuk mengurus hal spele untuk dirinya saja masih butuh dorongan orang lain.

Terlebih setelah apa yang terjadi belakangan. Permasalahan Irina dan suaminya yang berakhir kacau, hingga akhirnya bercerai, jelas meninggalkan luka. Madisa pasti terpukul. Itu pula yang membuat Madisa memutuskan untuk beristirahat sejenak dari pekerjaannya.

Ya, Irina sudah resmi bercerai. Dan mantan suaminya bahkan sudah menikah lagi setelah enam bulan palu hakim diketuk.

"Soal Om Jim sama Miranda, kalau kamu belum bisa bantu mereka, nggak usah dipaksain, Sa. Nanti mama yang bicara langsung," ucap Irina, seraya menarik kursi dan duduk berhadapan.

"Aku udah terima kok, Ma. Kemarin malam aku sempat ke rumah Om Jim."

Gurat cemas langsung tampak di wajah Irina. "Madisa, kamu serius? Kenapa nggak bilang dulu ke mama? Kamu bisa ajak mama pergi bareng, kan? Kenapa baru cerita sekarang?"

"Ma, tenang dulu, oke?" Madisa berusaha menenangkan. "Aku baru ngobrol sama Om Jim, belum ketemu Miranda. Soalnya udah malam juga waktu itu."

Irina mengernyit. "Terus, kalian ngomongin apa?"

"Harusnya di sana ada laki-laki itu juga, Malio. Tapi aku bilang ke Om Jim kalau dia nggak bakal datang. Karena..." Madisa terhenti sejenak, menatap meja di depannya. "...aku udah ketemu sama dia duluan, sebelum ke rumah mereka."

"Ketemu—apa?" Wajah Irina menegang. "Kamu udah ketemu sama laki-laki itu? Kamu nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh, kan?"

"Sedikit."

"Apa maksudnya sedikit?"

"Aku tabrak mobil dia dari belakang, Mam."

"Ya Tuhan, Madisa!"

Irina menepuk jidatnya. Ah, sudah ia duga pasti putrinya akan melakukan hal-hal ekstrem untuk pemdekatan. Hapal sekali tabiatnya.

Semua berawal ketika Jim—teman dekat Irina—meminta tolong agar Madisa bersedia membantu menangani Miranda. Dengan penuh harap, Jim menceritakan seluruh kronologi, juga trauma yang dialami putrinya setelah kecelakaan bersama Malio.

RESCRIPTWhere stories live. Discover now