Sontak Madisa melotot, menggeleng. "Bukan, bukan begitu. Jangan salah ya. Saya udah biasa menghadapi pasien-pasien gangguan mental. Lagian nggak semua pasien harus dirawat di rumah sakit jiwa. Ada yang butuh pendekatan personal, suasana yang lebih... tenang dan privat."

Ia menegakkan duduknya, agak bangga, lalu melanjutkan. "Sekedar informasi, saya ini lebih ahli dan kompeten dibanding ibu saya yang seorang perawat di rumah sakit jiwa sekalipun, tentu!"

"Kalau begitu seharusnya kamu nggak perlu bertanya begitu. Kesannya seperti kamu mengepelekan diri sendiri."

"Mana ada menyepelekan, saya malah percaya diri, tahu!"

Malio menggelengkan kepalanya, "Terserah, Madisa."

Mobil kembali melaju bersama hujan. Malio meliuk-liukkan mobilnya lincah. Karena hujan membuat kemacetan hampir sepanjang jalan, maka ketika jalanannya luang, Malio memburu waktu secepat mungkin.

***

Kecelakaan itu terjadi sebulan yang lalu. Malio sedang mengantarkan Miranda pulang setelah mereka berkunjung ke suatu tempat. Awalnya suasana di dalam mobil tenang, bahkan nyaris tanpa percakapan apa pun. Namun tiba-tiba, setelah menceritakan sesuatu, Miranda mendadak mengamuk—tantrum, sampai menarik kemudi hingga membuat Malio kehilangan kendali. Dalam hitungan detik, mobil menabrak pembatas jalan dan terjun ke sungai.

Beruntung, keduanya selamat. Malio sempat dirawat di rumah sakit lebih dari seminggu karena luka cukup parah, sedangkan Miranda—meski luka fisiknya tak terlalu parah, ia harus menanggung kenyataan pahit bahwa kandungannya keguguran.

Sejak hari itu, Miranda berubah. Ia lebih sering mengurung diri di kamar, menangis tanpa sebab, lalu mengamuk sesekali sambil melempar benda di sekitarnya. Namun di saat-saat tertentu, ia tampak normal—berbicara seperti sedia kala seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Seperti sekarang.

"Hai Miranda, kenalin aku Madisa, aku—"

"Psikiater yang Papa suruh," sela Miranda cepat.

Madisa pun tersenyum tipis. Di belakangnya, tampak berdiri Malio memperhatikan. "Gimana keadaan kamu sekarang? Udah makan?"

"Kamu bisa lihat sendiri, bukan?" jawabnya, dingin.

Ya, Madisa tahu itu. Keadaan Miranda terlihat memprihatinkan. Tubuhnya yang terbaring di atas ranjang tampak tak berdaya. Kedua kaki dan tangannya terikat di setiap sudut ranjang oleh tali. Ia tebak, sebelumnya Miranda pasti telah mengamuk hingga harus diikat begini.

"Kalau begitu, boleh aku duduk—"

"Malio." Lagi, Miranda menyela ucapan Madisa sehingga gadis itu menutup bibirnya. "Kenapa kamu datang lagi ke sini, Mas?" lirihnya.

Mendengar pertanyaan itu, Malio pun melangkah maju sejajar dengan Madisa di samping ranjang.

"Kamu nggak perlu ketemu aku lagi, Mas. Urusan kita udah selesai. Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Aku malu. Malu karena kamu harus lihat aku yang kayak sekarang. Aku harap kamu ngerti itu, Mas Malio. Jangan datangi aku lagi."

"Miranda..."

"Kalau Mas datang cuma supaya aku jujur tentang kehamilan aku, maaf... aku belum bisa ceritain itu ke siapa-siapa. Aku... aku takut."

"Takut apa? Ada aku di sini. Kita bisa mulai pelan-pelan, kan?"

Miranda menggeleng lemah. "Andai segampang itu."

"Memang sesulit apa?"

"Mas..."

"Miranda..." suaranya kali ini terdengar setengah memohon. "Siapa lagi yang bakal jelasin semua kalau bukan kamu? Mereka semua nggak percaya sama aku. Kamu tahu itu."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 05 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RESCRIPTWhere stories live. Discover now