2. We Need Each Other

Mulai dari awal
                                        

Awalnya, Irina tak langsung mengiyakan. Ia tahu, saat itu Madisa sedang berusaha beristirahat sejenak dari pekerjaannya—katanya begitu. Dan Irina tahu betul, keputusan rehat itu ada hubungannya dengan perceraiannya. Luka yang diam-diam Madisa sembunyikan.

Namun ternyata, kini Madisa sudah menyetujui permintaan itu.


***

"Lebih baik ayah mati saja, bukan begitu, Malio?"

Kalimat itu tidak seharusnya keluar dari mulut seorang ayah. Terlalu kejam, bahkan untuk amarah paling besar sekalipun. Tapi pagi itu, Darma sedang dalam mode pasrahnya, bicara sekenanya tanpa pikir panjang.

Di balkon rumah itu, Malio enggan menatap wajah Darma yang berdiri di sisinya. Biarkan saja lelaki tua itu meluapkan perasaannya. Sudah biasa berada di situasi begini.

"Memiliki dua anak yang tidak bisa menurut," gumam Darma dengan nada getir. "Padahal ayah hanya ingin salah satu dari kalian meneruskan bisnis keluarga. Kalian berdua sekolah tinggi-tinggi, tapi lihat sekarang—karena tidak ada penerusnya, sepupumu yang mengambil alih."

Morrow. Nama restoran milik Darma yang sudah memiliki cabang di beberapa kota. Dulu, Malio sempat turun tangan langsung sebagai pengelola, tapi ia sadar, itu bukan dunianya. Ia lulusan teknik sipil lalu lanjut arsitektur juga. Berkecimpung di dunia food and beverage hanya membuatnya terasa asing di tempat sendiri.

"Maudy tiba-tiba ingin sekolah pramugari, ayah tidak terlalu masalah sebenarnya—karena dia perempuan. Tapi kamu? Ayah menaruh harapan besar padamu, Malio. Tapi ternyata, kamu lebih pandai menakar semen daripada garam."

Angin pagi terasa berembus pelan, membawa aroma pahit dari secangkir kopi di meja tanpa sempat tersentuh, mendingin sia-sia. Malio masih menunggu saatnya bicara, ia tebak.. pasti selanjutnya akan berpindah topik.

"Ditambah lagi masalahmu dengan Miranda," suara Darma terdengar lagi. Tepat, tebakan Malio tepat. "Kenapa tidak mengaku saja kalau dia hamil anakmu, Malio?"

Malio akhirnya mendecak lirih, terkekeh tanpa senyum. "Ayah pikir itu lucu?"

"Kamu yang membuat kecelakaan itu terjadi. Sialnya kamu yang selamat, dan Miranda yang sekarat. Karena itu Jim terus mencecar kita. Sudahlah, Malio. Akui saja kesalahanmu. Dengan begitu, kamu bisa terbebas darinya."

Malio menatap langit, rahangnya mengeras.

"Miranda itu seorang chef yang bagus, seperti ayahnya. Kalau kalian menikah maka— "

"Berhenti bicara seolah semuanya bisa ditukar sama kesepakatan," potong Malio, datar. "Dari awal aku sama Miranda udah sepakat buat nolak perjodohannya. Kita bahkan udah rencanain buat ngomong baik-baik sama orang tua. Tapi karena kecelakaan itu, semuanya jadi berantakan."

"Sepakat menolak tapi sepakat membuat anak juga maksud kalian?"

Cepat, Malio menoleh ke arah ayahnya.

"Kalau saja kalian tidak mengalami kecelakaan itu, apa kalian akan membiarkan anak itu sampai dilahirkan juga? Yah, sebenarnya ayah tidak masalah, toh kalian juga akan menikah nantinya. Hanya saja kamu menolak keras jika itu anakmu sehingga Jim murka. Ayah sungguh tidak mengerti, Malio."

Betul, Malio juga tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Jika ia yang bicara, orang-orang tidak akan ada yang percaya. Harus Miranda yang menjelaskannya secara langsung. Sungguh, Malio juga butuh penjelasan.

Apa ia harus bicara dengan Madisa? Psikiater yang ditunjuk Jim untuk membantu  Miranda? Dengan begitu Miranda akan sembuh dan menceritakan kejadian sebenarnya, bukan begitu?

***

Suasana pagi di kantor konstruksi milik Malio Gama mulai menghangat, sehangat matahari pagi yang menyapa di awal. Beberapa staf sudah menempati kursinya masing-masing. Ada tiga orang yang tampak bercakap di pantry, menunggu air panas sambil mengaduk kopi. Yah, topik obrolannya—seperti biasa, tidak jauh dari satu nama yang paling sering mereka bicarakan.

"Eh, siapa kemarin yang dimarahin Pak Malio sampai lembur gara-gara lupa ngubungin supplier granit dan marmer buat kafe di area universitas itu?" celetuk wanita berambut bergelombang panjang, yang langsung mendapat tatapan lelah dari si tersangka.

Langsung saja si ‘tersangka’ mendengus lelah. "Udah jangan diungkit, sumpah, ini masih pagi, ya!'

"Jangankan hal fatal begitu, kemarin mas OB aja kena semprot cuma gara-gara ngaduk kopinya kurang dua putaran! Tegang banget nggak, sih?" timpal satu-satunya lelaki di antara mereka dengan semangat.

"Emang kemarin Pak Malio lagi sensi, keliatan kok. Mukanya udah kayak nunggu siapa aja buat dihajar!" ujar si tersangka tadi, dan dua temannya mengangguk-angguk, terkekeh.

"Nah! Makanya, Pak Malio tuh—"

"Selamat pagi." Suara bariton itu langsung membelah atmosfir diantara mereka. "Seru banget kayaknya? Gimana, stok kopi aman?"

Mati.

Itu suara Malio yang sedang mengambil air mineral di dalam lemari pendingin.

"P—pagi, Pak Lio."

Ketiganya langsung membeku, kikuk. Tapi Malio tak terlalu peduli. Sudah terlalu sering ia mendengar gosip-gosip manis tentang dirinya. Ya, sebut saja begitu. Kadang ia heran, kenapa orang-orang begitu suka menilainya kaku?

"Bebas gosip asal kerja tetap beres dan bagus."

Begitu katanya sebelum berbalik meninggalkan pantry.

Malio langsung menuju ke ruangannya di lantai dua dengan langkah yang mantap. Kantor ini sudah seperti rumah kedua baginya—walaupun sering diremehkan oleh ayahnya, tetap ini kebanggaan Malio.

Saat ingin menghubungi seseorang sebelum memulai pekerjaan, atensi Malio teralihkan oleh satu pesan gelembung dari nomor asing.

+62
Halo
Selamat pagi
Ini saya yang semalam
Saya mau ganti rugi kerusakan mobilnya
Transfer

Malio
Pagi
Ambil aja uang jajanmu yang nggak seberapa itu
Transfer

+62
Kamu tahu siapa saya?

Malio
Orang yang ajak tukar nomor rekening?

+62
Ah ya
Kenapa dibalikin?
Rasanya itu nggak sopan

Malio
Lebih nggak sopan orang yang nabrak sembarangan

+62
Bilang aja kalau kurang
Saya tambahin
Transfer

Malio
Transfer

+62
Apa-apaan???

Malio
Kurang?
Transfer

+62
Gila ya?! Itu hampir 4x lipat!
Udah deh, ayo kita ketemu
Kita ini saling membutuhkan bukan, Malio?

Malio
Lain kali to the point

Malam saat mereka bertemu, Madisa sempat memaksa ingin mengganti biaya kerusakan mobil Malio. Mereka pun bertukar nomor rekening masing-masing. Malio menurut saja karena ingin urusan itu cepat selesai. Walaupun Madisa merasa aneh, tapi akhirnya ia mengerti—karena ternyata Malio berniat mengembalikan uangnya.

Kenapa Madisa bisa menghubungi Malio lebih dulu, karena nomor lelaki itu tertera pada berkas yang diberikan Jim. Dan Malio tak merasa aneh oleh itu. Ia sudah menebaknya.

Pertemuan pertama bertukar nomor posel (x)
Pertemuan pertama bertukar nomor rekening (✓)


***

RESCRIPTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang