Part ini masih lanjutan kilas balik yang sebelumnya yaa, tapi alurnya maju lagi ke masa sekarang.
Jelasnya, part ini ada bagian kilas balik, dan dilanjutkan ke masa sekarang.
Semoga kalian enggak pusing dehh😭
.
_HAPPY READING_
Wildan berdecak pelan. Ia berjongkok di samping tubuh Arnold yang sudah bersimbah darah, menatap wajah itu tanpa ekspresi selain senyum tipis yang mengerikan. Matanya dingin, namun puas.
Lalu, tiba-tiba Wildan menoleh. Matanya menatap lurus ke arah bawah ranjang. Aleza membeku. Seketika ia menutup mulutnya, menahan nafas. Jantungnya seperti meledak di dalam dada. Tubuhnya kaku. Ia tidak boleh goyah. Tidak sekarang.
Wildan berdiri perlahan, mengalihkan pandangannya kembali ke tubuh Arnold yang nyaris tak bergerak. "Kalo pun aku tertangkap..." gumamnya dingin, "Setidaknya kau sudah mati."
Ia melangkah pelan, melewati tubuh itu, menyeret besi di lantai hingga suara gesek besi menggema nyaring. Namun langkah Wildan terhenti tepat di depan gerbang.
Ia berdiri mematung, nyaris tak bergerak. Hanya matanya yang menyipit, seperti sedang mengingat ulang potongan-potongan kecil dari kejadian barusan. Lalu ia tersadar--sebuah detail kecil yang nyaris ia lewatkan. Kilatan merah samar dari bawah ranjang Arnold. Berkedip pelan, teratur. Seperti lampu indikator.
Bukan pantulan cahaya. Bukan ilusi.
Itu arloji digital.
Dan Wildan tahu pasti arloji itu dikenakan di pergelangan tangan seseorang. Seseorang yang seharusnya tidak ada di kamar itu.
Ia menarik napas pelan. Lalu, dengan gerakan tenang--nyaris terlalu tenang untuk situasi yang genting, ia merogoh ke dalam saku jas dalamnya. Mengambil ponsel yang berbeda dari yang ia pakai sebelumnya.
Tanpa ekspresi, tanpa ragu, ia mulai mengetik nomor secara manual. Satu per satu. Tak ada jeda. Tak ada kebingungan. Jelas nomor itu sudah melekat dalam kepalanya.
Layar menunjukkan calling.
Tapi Wildan tidak bicara sepatah kata pun, lalu ia berbalik dan berlari kembali ke dalam bangunan. Panggilan belum dimatikan. Sorot matanya berubah, kini tajam dan liar, seperti hewan yang mencium bau mangsa di balik semak.
Dari kejauhan, seseorang memperhatikan--Kallan.
Tatapannya membelalak sesaat. Ia tak bisa mendengar apa pun, tapi ia melihat dengan jelas: Wildan mengeluarkan ponsel lain, mengetik nomor, lalu berlari masuk. Tidak bicara. Tidak mengucap apa pun. Hanya satu panggilan, dan itu cukup membuat alarm dalam kepala Kallan menyala.
Wildan menghubungi seseorang.
Mungkinkan dia menghubungi Arnold?
Tidak. Ini sudah jauh dari skenario.
Bagaimana bisa pria itu tiba-tiba bertindak di luar dugaan? Padahal semua sudah dihitung, dijalankan sesuai rencana. Tapi nyatanya, ide yang seharusnya masih disimpan untuk fase akhir, justru kini muncul lebih cepat dari yang diperkirakan.
Dan yang lebih parah adalah ketika Aleza mendengar dering ponsel itu, bisa dipastikan lelaki itu--yang selama ini hanya diam akan keluar dari persembunyiannya.
Sementara itu, langkah kaki Wildan semakin dekat. Pria itu tanpa ragu mendorong pintu kamar Arnold, membukanya dengan paksa. Tatapan matanya liar, penuh amarah yang ditekan. Begitu matanya menangkap punggung seorang lelaki yang berdiri di dalam ruangan, senyum sinis muncul di bibirnya.
YOU ARE READING
Aku Ingin Bercerita
Teen Fiction"Ngapain sedih? Aku harus semangat biar jadi sarjana untuk membuat Ibu dan Bapak tersenyum dari atas!" -Candra "Gila bukan berarti tidak bisa mencapai impian, kan, Pak?" -Raka "Gue capek hidup miskin, Ro. Kuliah mahal, tapi gue harus buktiin ke Pama...
