18. Ian right, I asked for it

14 1 5
                                        

Rasanya setelah melihat pesan dari Ian, seperti bom waktu yang selama ini aku takutkan akhirnya benar-benar meledak.

Ia melihatku diantar Hardin, lalu pulang bersama Roman. Dan aku tahu betul apa yang ada di kepalanya. Bisa kulihat dari kata-kata singkat nan penuh amarah di pesan teksnya, tajam, dingin, menuduh tanpa perlu banyak kalimat.

Sesampainya di kos, aku buru-buru meletakkan kotak makanan dari Bu Rosa di meja, langsung menyalakan lampu kamar, dan dengan tangan gemetar menulis balasan panjang untuk Ian.

Aku jelaskan kalau semua itu bukan seperti yang ia bayangkan. Aku tekankan bahwa tak ada apa-apa antara aku dengan mereka, bahwa semua kebetulan semata. Tapi, balasan tak kunjung datang.

Aku kembali membuka ponsel, mencari tanda-tanda bahwa ia sudah membaca. Yang kutemukan justru lebih menyakitkan, semua fotoku sudah hilang dari akun media sosialnya. Foto-foto yang dulu penuh senyum, penuh kenangan, kini lenyap begitu saja, seolah aku tak pernah ada di sana.

Panik.

Nafasku terasa pendek, dadaku sesak.

Malam itu, aku habiskan waktu menulis pesan demi pesan, memohon agar Ian mau mendengarkanku, mau membuka ruang untuk bicara. Aku menelponnya berkali-kali, tapi panggilan tak pernah terangkat. Hanya nada sambung yang dingin, diikuti sunyi.

Aku tahu ini salahku. Tidak seharusnya aku menerima tumpangan dari laki-laki lain saat aku berpacaran dengan Ian, meski alasannya demi menghemat biaya, meski alasannya soal keamanan.

Rasanya seperti mengkhianati kepercayaan kecil yang pernah ia titipkan padaku.

***

Aku bangun pagi hari dengan perasaan seperti monster.

Bukan sekali dua kali aku bertengkar dengan Ian sampai menangis semalaman hingga akhirnya tertidur kelelahan.

Laki-laki itu terbiasa membiarkanku tenggelam dalam kesedihan, membiarkanku tertidur dengan mata bengkak, membiarkanku mimpi buruk lalu bangun dengan sakit kepala.

Tapi kali ini berbeda, ada rasa takut yang menempel, menghantuiku. Ian benar-benar tidak mendengar penjelasan ku, tidak memberi ruang sedikit pun.

Setelah mandi, aku mengenakan jaket dan buru-buru berangkat ke rumahnya. Sepanjang jalan, aku resah.

Tanganku terus menggenggam ponsel, mencoba menelponnya berulang kali. Nada sambung berdering, tapi tidak pernah ia angkat.

Yang kudapat malah sebuah pesan di grup kelas: himbauan dari ketua kelas. Pesan itu berisi seruan, jika ada yang menjadi korban pelecehan seksual di kampus, segera hubungi nomor yang tertera.

Tubuhku mendadak dingin. Aku berdiri di dalam Transjakarta, tubuhku goyah, hampir jatuh karena kehilangan keseimbangan.

Sebuah tangan besar melingkar di pinggulku, menahanku.

“Kak, you’re not okay.”

Sial.

Kenapa Roman selalu muncul di saat-saat seperti ini?

Aku segera menepis rangkulannya dengan kasar, darahku mendidih. “Ngapain sih lo di sini? Kenapa lo ada di mana-mana?!”

Roman hanya menarik napas dalam. Tatapannya mengingatkanku kalau kami jadi pusat perhatian. Beberapa penumpang mulai melirik, bahkan seorang petugas mendongak curiga.

Aku mendesis, menahan malu bercampur marah. “Gue bisa aja teriak lo pelecehan seksual, Roman.” Kata-kata itu lolos tanpa sempat kupikirkan. Entah setan apa yang membisikkannya.

Alis Roman menegang, tapi suaranya tetap rendah. “Gue nggak lecehin lo, kak. Gue liat lo hampir jatoh, makanya gue tahan.”

Kepalaku menggeleng keras. “Jangan bantuin gue lagi! Gara-gara lo semalem, cowok gue liat terus ngira gue selingkuh. Dia marah sekarang. Kalau aja lo nggak maksa, semua ini nggak akan kejadian. Lo nggak ngerti cara hargain hubungan orang. Gue nggak ngerti apa maksud lo, lo kira semua cewek bisa lo alusin kaya gini?!”

“What do you mean? I’m here trying to help you, kak.”

Aku menatapnya tajam, “And I don’t fucking need your help!”

Roman mendengus pelan, lalu menatapku lurus. “Kak, I’m not your enemy here. But—”

Aku langsung balas cepat dengan penuh amarah. “Then stop acting like you know what’s best for me!” Suaraku meninggi tanpa sadar, membuat beberapa penumpang yang duduk di kursi depan menoleh.

Roman mengangkat tangan, seolah menahan. “Kalau semalem gue nggak maksa lo nganter pulang, siapa tau apa yang bakal terjadi. Lo pikir gue tenang aja ninggalin lo sendirian jam setengah sebelas malem? Gue khawatir, kak, that’s it!”

“Khawatir?” aku menertawakan pahit. “Khawatir lo atau lo cuma pengen keliatan jadi pahlawan? Karena buat gue, Roman, lo cuma bikin semua makin rumit. Lo tau nggak, cowok gue hapus semua foto kita di sosmed. Semua! Gara-gara lo!”

“Kalau cowok lo percaya sama omongan orang atau apa yang dia liat tanpa denger penjelasan lo dulu, then what kind of boyfriend is that?”

Darahku mendidih. “Don’t you dare talk about Ian like that!”

“Why not?!” Roman ikut meninggi. “Mau seburuk apapun dia tetap aja lo bela. Wake up, kak!”

Sialan, aku merasa ditelanjangi.

Aku merasa kepalaku mau pecah. “Shut up, Roman! You don’t know anything about us!”

Suara kami makin keras, sampai seorang petugas mendekat dengan ekspresi waspada. “Maaf, kalian berdua… bisa tolong lebih tenang? Jangan bikin gaduh di dalam bus.”

Aku menutup wajahku dengan telapak tangan, malu setengah mati karena hampir semua penumpang memperhatikan.

Roman masih terlihat menahan emosi, rahangnya mengeras, tapi dia akhirnya mengangguk ke petugas. “Sorry, Pak.”

Petugas itu menatap kami bergantian. “Kalau masih ribut, saya turunkan ya. Ini transportasi umum, bukan tempat bertengkar.”

Aku hanya bisa mengangguk cepat, tidak sanggup menatap siapapun. Tubuhku gemetar, antara marah, malu, dan hancur berkeping-keping.

Roman menunduk, tangannya mengepal, tapi tidak lagi bicara.

Suasana di dalam bus kembali hening, hanya deru mesin Transjakarta yang terdengar. Tapi dalam diriku, badai itu masih menggila.

***

Aku berdiri di depan mobil Ian dengan napas terengah, keringat dingin menetes di pelipis. Ban mobil berhenti hanya beberapa sentimeter dariku. Ian menatapku dari balik kemudi, wajahnya merah, penuh amarah.

“Ian, hear me out!” suaraku serak, hampir bergetar.

“Get out of my way, Gabi!” teriaknya, keras, sampai suaranya menggema di gang kecil itu.

Aku menggeleng cepat, air mata mulai mengaburkan pandanganku. “Please… I swear it’s not what you think. Hardin cuma nganterin aku, Roman juga cuma… cuma—”

“Cuma apa?!” Ian memotong kasar. “Cuma lo biarin dia nempel sama lo, cuma lo biarin dia sok jadi pahlawan lo?! Gue lihat, Gabi! Gue liat semuanya!”

Tanganku gemetar saat mencoba membuka pintu penumpang. Ian buru-buru mengunci pintu.

Aku memukul-mukul kaca mobilnya dengan panik. “Open the door! Please, Ian! Listen to me even if I should die because of you drive like a satan!”

Dia menatapku dengan tatapan yang menusuk. “You asked for it.”

Klik.

Pintu terbuka tiba-tiba. Aku langsung masuk, menghempaskan tubuhku di kursi penumpang meski seluruh tubuhku masih gemetar. Ian menginjak pedal gas keras-keras, mobil meluncur kencang.

“Ian, please slow down! You’ll kill us both!” aku memegang sabuk pengaman erat, tubuhku terhempas ke kursi.

Dia tertawa pendek, getir. “Good. Biar lo ngerasain rasanya di ghosting langsung ke neraka!”

“Ian, stop! Please!” aku menoleh, suaraku pecah. “I never cheat on you! Not even once! I love you, only you!”

... Even if you hurt me, I swear.

Let me live.

In The Spaces We SharedDonde viven las historias. Descúbrelo ahora