In the space we shared, laughter and conversation flowed freely as we worked together
✷✷✷
Aku tidak pernah menyangka berjualan makanan terlebih makanan yang berasal dari Jepang ini bisa sangat menghibur.
Padahal sebelumnya aku berpikir bekerja part-time di tempat makan itu akan sangat melelahkan, lengket, bau dan penuh tekanan. Tapi begitu Bang Kais membuka satu dari wadah kukusan besar itu, semua pikiran buruk ku mendadak menguap mengikuti uap dari makanan berbentuk cantik menggiurkan disana.
Wangi sedap yang menggoda menyeruak begitu kuat, membuat perutku yang sebenarnya sudah kenyang dari sarapan langsung merasakan keroncongan lagi.
Uap panas naik pelan, memperlihatkan barisan dimsum warna-warni yang menggiurkan. Ada yang dibungkus nori, ada yang dilapisi kulit transparan, ada juga yang keemasan seperti terkena sinar dewa masak.
"Ini, liat ya, lo harus tau dulu mana yang ayam, mana yang udang, mana yang isi keju. Jangan sampai salah bungkus, bisa ribet ntar,"
Bang Kais mulai menjelaskan proses packing, menunjukkan cara mengambil dimsum pakai penjepit, menata dalam box, sampai menyiram saus khas buatan dia yang katanya rahasia keluarga.
Aku manggut-manggut menyimak. Sambil sesekali nyolong napas panjang, nggak kuat, aromanya gila banget!
Roman masih di sana menonton sesi pelatihan singkat dari Bang Kais. Aku belum ngerti juga kenapa dia berlama-lama di sini selain ngantar sepatu. Tapi, ya, sudahlah.
"Cobain, Kak. You'll see why this place is always bustling."
Bang Kais terkekeh dan ikut menimbrung, "Emang lo suka dimsum, Gab?"
Who the hell in this world doesnt go crazy for dim sum?!
Aku mengangguk mengiyakan. "Suka, sih. Tapi... ya gitu, kadang lebih banyak tepung daripada daging."
Bang Kais menyerahkan satu box kecil padaku, ia memberikan sebuah garpu kepadaku dan aku menerimanya. "Coba ini. Yang isi ayam jamur, andalan gue."
Aku mengangguk dan mengambil salah satu dimsum itu, menusuk satu makanan kenyal itu dan aku bisa merasakan daging di dalamnya. Baru menyentuh bibir aja rasanya udah meledak aromanya. Begitu aku gigit...
Gila.
A delicate balance of taste and texture, pure culinary art.
Daging dari dimsum tersebut menyambut indra perasa dengan senang hati. Rasanya seperti bumbunya meresap sampai ke hati. Kulitnya tidak terlalu lembek seperti yang kebanyakan aku temui, tapi juga tidak keras. Semua terasa pas, rasanya seakan-akan dimsum ini bukan makanan pinggir jalan, tapi level hotel.
Tapi dijual sepuluh ribu isi tiga?
Aku menatap Bang Kais penuh takjub. "Bang, seriusan? Lo jual ini sepuluh ribu? Tiga biji? Beneran?"
Dia hanya tersenyum dan mengangkat kedua bahunya. "Orang kaya gabut bebas."
Tawa kami pecah. Tidak tahu kenapa, semuanya terasa absurd tapi menyenangkan.
VOUS LISEZ
In The Spaces We Shared
ChickLitI write this story special for @Sylphirene In the bustling heart of Jakarta, Gabi, a final-year university student known for her sharp wit and quiet resilience, finds herself tangled in a web of emotional turbulence. Caught in an unsteady relationsh...
