In the spaces we shared, the warmth of friendship was palpable, a bond that would be tested by the trials of life
✷✷✷
Setelah menjelaskan tentang self defense kit itu, Roman perlahan menurunkan tangannya dan menatapku sebentar sebelum akhirnya bergeser turun dari motornya.
Tapi ia tidak langsung membiarkanku turun sendiri. Ia berputar ke sisi kiriku dan mengulurkan tangannya, pelan-pelan membantuku. Seolah paham betul bahwa motornya terlalu tinggi untukku. Tidak seperti motor Ian yang bisa dengan mudah aku turun tanpa harus merasa khawatir kehilangan keseimbangan.
"Jangan lompat, lo kira ini kuda?" katanya sambil tertawa kecil. Aku hanya mengerucutkan bibirku, membiarkannya membantuku turun.
Tiba-tiba, sebuah mobil abu-abu berhenti perlahan tak jauh dari tempat kami berdiri. Aku mengernyit bingung.
Tapi Roman langsung sigap, melangkah maju sambil melambaikan tangannya.
"Terusin dikit lagi, Bang. Nah, belok kiri dikit. Jauh, kok, jauh... sip, berhenti di situ." Roman mengangkat tangannya, memberi tanda berhenti sambil sedikit mundur.
Mobil itu akhirnya parkir sempurna, lalu mesin dimatikan. Begitu pintu sopir terbuka dan seseorang keluar, barulah aku mengenali siluet itu.
Bang Kais.
Aku hendak menyapanya seperti biasa dengan nada ceria. Tapi ekspresi wajahnya menghentikanku. Wajahnya tampak tidak bersahabat, matanya lelah seperti kurang tidur. Rambut gondrongnya kini diikat ke atas membentuk man bun seadanya, dan langkahnya tampak berat.
Roman dan Bang Kais saling menepuk bahu dengan gaya santai, seperti dua teman lama yang sedang reuni. Aku baru sadar, tinggi badan mereka hampir sama, dan gestur mereka terlalu akrab untuk disebut sekadar kenalan beda generasi.
"Gabi," sapa Bang Kais akhirnya, memaksa senyumnya di raut lelah wajahnya.
"Bang," aku membalas sambil tersenyum tipis.
"Ayo masuk. Hari ini toko gue tutup dulu, Gab. Ada yang mau gue omongin."
Aku hanya mengangguk, mengikuti langkah mereka berdua masuk ke dalam Dimsum Kais yang biasanya hangat, tapi kini terasa sepi dan kosong. Roman membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk duluan.
Kami duduk di dalam toko yang sepi. Lampu dinyalakan seadanya. Suasana yang biasanya hangat kini terasa dingin. Roman duduk di seberangku, Bang Kais di ujung meja, menunduk menatap layar ponselnya.
"Nunggu Mima sama Hardin dulu ya, bentar lagi nyampe," katanya.
Aku mengangguk, tapi rasa penasaran sudah tidak terbendung lagi. Sepertinya semuanya sudah tahu kecuali aku.
"Bang, serius deh. What's going on?"
Ia menghembuskan napas berat. "Ada konten kreator yang beli dimsum kita via online. Terus dia bikin review... katanya nemu rambut sama kecoa kecil di dalam dimsumnya."
"What? Are you kidding?"
Roman paham dengan keterkejutan ku, benar saja semuanya disini sudah tahu kecuali aku, ia mengeluarkan ponselnya dari saku kemeja. "Nggak bohong dia. Nih, video-nya lagi ramai banget."
Ia memperlihatkannya padaku. Seorang perempuan muda dengan lighting ring light dramatis, makeup tebal, dan gaya review yang dramatis banget membuka box dimsum tanpa repot menutupi logo Dimsum Kais.
Di bagian awal videonya, dia mengambil makanan itu dari kulkas dulu, kemudian ia hangatkan.
"Jadi aku tuh excited banget ya beli dimsum ini, Dimsum Kais! Banyak banget yang bilang enak, dan pas aku buka... OMG guys liat ini,"
YOU ARE READING
In The Spaces We Shared
ChickLitI write this story special for @Sylphirene In the bustling heart of Jakarta, Gabi, a final-year university student known for her sharp wit and quiet resilience, finds herself tangled in a web of emotional turbulence. Caught in an unsteady relationsh...
