16. If only Ian had looked at me the way Roman did tonight

41 3 4
                                        

In the space we shared, there was more than just dim light and leftover laughter, there was unsaid grief, quiet care, and the weight of truths we dared not name

✷✷✷

Kami duduk melingkar lagi di toko, kali ini hanya berempat karena Mima harus pulang lebih cepat untuk menemani ibunya berobat. Roman membuka laptop dan mulai menyambungkan file video klarifikasi yang barusan direkam, ia menggulung lengan kemejanya terlebih dahulu sebelum memulai.

Cuplikan demi cuplikan diputar ulang. Beberapa bagian memang terdengar sedikit tercekat, namun masih bisa ditoleransi.

Hardin menyimak dengan mata yang nyaris tidak berkedip, lalu berkomentar sambil mengibaskan tangannya, "Bang, bagian 'saya tidak pernah berniat' itu too stiff, bisa dipotong sedikit gak? Biar flow-nya nggak kayak lawyer speaking in court, gitu loh."

Setelah mendapatkan respon dari Bang Kais dan beberapa diskusi, Roman mengangguk mengerti, jemarinya lincah bermain shortcut keyboard. Aku diam-diam memperhatikan ia bekerja. Wajahnya fokus, alisnya sedikit bertaut, dan sesekali ia menggigit bibir bawahnya saat mencari transisi yang pas.

Dengan segera aku menutup mata cukup lama, ini tidak benar.

Aku kembali menatap layar, tapi sebenarnya mataku lebih banyak bergerak ke arah Roman lagi. Setelah kejadian di rumah Bu Ina tadi pagi, semuanya terasa aneh terlebih semakin banyak tanda tanya yang hadir di kepalaku.

"Okay, fix. Kita preview sekali lagi ya," katanya.

Kami menonton ulang video yang sudah disunting tersebut. Kali ini terdengar lebih mengalir, aku kagum dengan bakat pria itu hingga membuat intonasi Bang Kais terdengar lebih jelas, walau masih gugup sedikit, kami memutuskan untuk membiarkannya terdengar dan terlihat alami. Saat video selesai, semua hening. Hanya terdengar suara kulkas pendingin minuman yang berdengung pelan.

"Ready, Bang?" tanya Roman.

Bang Kais menarik napas panjang. "Kalau bukan sekarang, mau nunggu kapan lagi?"

Setelah memastikan pendapat yang lain, dengan sekali klik ia mengunggah video itu melalui akun Instagram toko Dimsum Kais. Suara notifikasi langsung bermunculan. Dalam hitungan menit, angka likes naik, komentar membanjir, dan DM toko mulai penuh dengan beragam respons.

Aku membaca beberapa komentar lewat ponselku.

| Comments:
"Akhirnya klarifikasi juga, harus viral dulu."
"Terima kasih sudah berani jujur dan klarifikasi."
"Semoga dimsum-nya tetap jalan terus, Bang!"
"Kaya di edit ya, bukan AI, kan?"

Ada yang membela, ada juga yang tetap menyudutkan. Aku melirik Bang Kais yang masih menunduk sambil mengusap wajahnya. Roman menepuk pundaknya pelan.

Aku sangat sedih hal ini terjadi padanya, walaupun masa lalunya sebagai pemakai narkoba memang sulit dimaafkan, tapi Bang Kais sudah berubah menjadi lebih baik dan bahkan sudah banyak membantu orang.

Dia bahkan membangun toko bukan untuk uang, jelas karena dia lahir dari keluarga berada, namun hanya sebatas niat iseng dan ingin semua orang bisa mencoba dimsum buatannya. Sesederhana itu namun dapat menolong kami yang kesulitan dengan membuka lowongan, bahkan aku pernah mendapati Bang Kais menyerahkan beberapa box dimsum ke masjid di hari Jumat siang.

Aku menghela napas. Mataku bergerak turun ke notifikasi baru yang masuk.

| Ian my love
Km udh mkn?
Masih di toko? Mau di jemput?

Aku menatap notifikasi itu lama.

Hening terasa menggantung dalam kepala. Pertengkaran, permintaan maaf, lalu berulang. Hubungan kami seperti kaset rusak yang terus diputar.

In The Spaces We SharedWhere stories live. Discover now