Bab 2

23 4 0
                                        

"Senja pinter banget milih dress nya. Cocok semua di badan dia. Terus kan Mama bingung banget mau milih yang mana, eh Senja bantu milihin. Pokoknya tante beruntung banget ada Senja."

"Tante, sudah. Lama-lama aku jadi besar kepala ini kalau di sanjung terus. Tante cantik jadi dress yang aku pilih langsung cocok buat Tante."

"Nanti kita atur waktu lagi ya buat belanja lagi."

"Pasti dong."

Kanaya berdiri memperhatikan interaksi ibu dan sepupunya dalam diam. Ia juga bisa melihat kakaknya menepuk kepala Senja dengan sayang.

"Kakak juga mau ikut kalau tidak keberatan."

Senja tertawa lalu mengalungkan lengannya pada Gibran dan berkata, "Ayo ikut kak, biar rame. Nanti aku rekomendasiin makanan enak sama kakak dan Tante."

Kapan terakhir kali Gibran menemani Kanaya?

Kanaya lalu mencoba mengingat terakhir kalinya Gibran menemaninya. Enam tahun lalu, saat Kanaya berdiri di pinggir jalan dan Gibran berkata kamu tidak seharusnya ada di tengah-tengah antara aku dan mama. Tidak ada tempat untuk kamu.

"Nay, kamu sudah pulang?"

Kanaya mengerjapkan matanya lalu menoleh ke arah Senja. Ia mengangguk dan tersenyum, "Aku ke kamar dulu ya."

"Sini gabung dulu sama kita."

Kanaya meringis, ia bisa melihat ibu dan kakaknya hanya diam saja tidak menanggapi. Kanaya tahu, tidak ada yang menginginkan dirinya bergabung dan dengan pelan ia berkata, "Aku skip dulu ya, mau istirahat di kamar."

Senja menatapnya dan mengangguk. Lalu ia berbalik dan menyenggol lengan Gibran, "Kakak ini, ajak Kanaya gabung juga, kan seru."

"Kalau dia ga mau, jangan dipaksa."

Kanaya tersenyum kecut sambil berjalan ke arah kamar.

Siapa sih yang ga mau ikut gabung. Siapa sih yang ga mau ngobrol sama keluarga saat pulang kerja. Siapa sih yang ga mau ber manja-manja sama keluarga?

Kanaya mau semua itu tapi ia hanya harus sadar diri sekarang. Dia harus cukup puas dengan dibolehin tinggal di rumah.

Kanaya memilih langsung tidur setelah mandi dan terbangun pukul sebelas malam. Ia menurunkan kakinya dan berjalan ke arah tangga. Semua orang sudah tidur dan Kanaya memilih berjalan ke arah pintu. Ia membutuhkan nasi goreng di depan gang.

"Bang, nasi goreng satu ya, dimakan disini."

Setelah memesan makanan, Kanaya memilih duduk di kursi panjang yang letaknya agak ujung. Ia memainkan handphone nya dan mengirimkan pesan pada Naura terkait acara besok.

"I didn't know that Gibran had a younger sister. Selain Senja."

Kanaya mendongak dan meringis karena mengingat siapa orang di depannya yang mengajaknya berbicara. Ia menimbang buat membalasnya atau tidak.

"Senja adiknya." Kanaya memilih mengatakan itu.

"Dan kamu?"

"Kalau mas taunya Senja sebagai adiknya berarti memang hanya Senja adiknya. Aku bukan siapa-siapa."

"Mas?"

"Apa?"

"Kamu manggil aku mas!"

Kanaya tidak mengerti kenapa dari kalimat panjangnya hanya kata mas yang menempel di kepala pria di depannya ini. Ah, ia ingat, Senja memanggilnya kak Dewa.

"Aku perlu panggil kakak biar sama kayak Senja? Kak Dewa?"

Sadewa Pangestu menggeleng, "Panggil mas saja."

"Oke."

Bang Tejo datang dengan membawa dua piring nasi goreng. Satu untuk Kanaya dan satu untuk Dewa. Mereka memakannya dalam diam.

Handphone Kanaya berbunyi dan ia bisa melihat panggilan masuk dari Naura. Ia meletakkan sendok dan menggeser ikon jawab.

"Kenapa, Nau?"

"Kamu dimana? Aku barusan ngirim berkas, kamu check lagi ya takut ada yang ketinggalan. Kalau sudah oke, aku mau print."

"Aku lagi di Bang Tejo. Iya, aku check sekarang. Nunggu bentar gapapa kan ya?"

"Kamu belum makan malam? Nay, serius deh, di rumah emang ga ada makanan sampai kamu memilih makan di Bang Tejo? Hampir tiap hari."

Kanaya meringis dan melirik Dewa yang hanya diam saja. Ia berdiri dan berjalan menjauh, mendengar celotehan Naura di tempat umum kadang bikin dia malu.

"Aku tadi ga sempet makan. Keasikan ngelesin anak-anak. Makanan Bang Tejo enak loh Nay."

"Sekali-kali makan yang sehat gitu loh, Nay."

"Iya, iya."

"Jangan iya mulu. Sekarang check berkas punyaku. Aku tutup ya, dadah."

Kanaya memilih duduk di trotoar setelah menutup panggilan Naura. Ia mengecheck berkas yang dikirim Naura dengan teliti. Setelah di rasa semuanya benar ia mengirimkan balasan ke Naura.

Semuanya aman, kamu bisa print sekarang.

Kanaya berdiri dan menepuk celananya. Tepat saat ia akan berbalik dan melangkah, Sadewa berdiri di depannya dengan pandangan lurus.

"Malam begini kamu masih ngurusin pekerjaan? You seem busier than your brother."

"Aku harus sibuk buat hidup." Satu kalimat untuk mengakhiri pembicaraan dengan Dewa. Ia memilih melangkah lebih dulu.

Sadewa berjalan di belakang Kanaya, ia memperhatikan tubuh ringkih Kanaya dan bergumam, "Kayak ga dikasih makan bertahun-tahun."

Kanaya berhenti berjalan lalu berbalik. Ia mendengar gumaman Dewa dan hatinya mencelos karena pria yang baru dikenalnya ini dengan berani bilang seperti itu. Jelas sekali kalimat itu ditujukan untuk dirinya.

"Menurut mas, membicarakan tubuh seseorang itu sopan?"

Dewa terdiam dan bertanya, "Kamu merasa itu buat kamu?"

"Ada orang lain selain kita disini?"

Dewa menatap lurus Kanaya dan berkata, "Aku minta maaf kalau kamu sakit hati dengan ucapan aku. But you don't look okay with your body."

Naura pernah mengatakan hal yang sama dan Kanaya tidak ambil pusing. Tapi perkataan Dewa entah kenapa membuat Kanaya merasa kesal. Tau apa pria itu dengan tubuhnya.

"You don't know anything so just keep quiet."

Dewa berjalan mendekat dan Kanaya memilih diam di tempat. Ia tidak takut pada Dewa, siapa pria itu memangnya? Hanya sekedar teman Gibran dan Senja yang tidak akan pernah menjadi teman Kanaya.

"Aku jadi pengen bawa kamu ke ahli gizi jadinya."

"How dare you. "

"Ayo pulang, nanti dicariin Gibran."

Kanaya mendengus. Ia bisa bertaruh kalau Gibran lebih memilih dirinya hilang saja daripada menyusahkan nya.





Like dan Komen nya ya teman-teman.

RED STRINGWhere stories live. Discover now