Bab 1

52 4 3
                                        

"Kayak gini aja kamu ga bisa?"

Entah sudah berapa kali ibunya bertanya hal serupa malam ini. Kanaya Nadhira benar-benar tidak dalam kondisi baik terlebih ia baru saja pulang dalam keadaan lelah selepas kerja rodi terkait urusan sekolah. Ia memilih mengambil air dingin dari kulkas dan membawanya untuk duduk di ruang keluarga dengan canggung. Di rumahnya sendiri, ia merasa sangat canggung.

"Baking itu gampang, Kanaya. Kamu ini apa sih bisanya? Masak kalah dari Senja. Dia bantuin mama bikin cake dari sore."

Ibunya menatap Kanaya dengan mata memicing karena tidak mendapatkan respon dari putri satu-satunya. "Kamu itu perempuan, harus pinter masak kayak Senja."

"Tante, Kanaya nanti pinter masak juga kok. Lagi sibuk kerja aja itu."

Kanaya memejamkan matanya mendengar drama antara ibunya dan sepupunya. Selalu seperti ini, menjadi perbandingan. Perkara belum bisa masak saja jadi bahan pembicaraan.

"Ma."

Suara langkah kaki yang mendekat membuat Kanaya dengan cepat membuka mata dan berdiri. Ia memilih menyingkir dan kembali ke dapur untuk mengembalikan botol minum. Butuh waktu sekitar dua menit buat Kanaya bisa melangkah ke arah tangga dan melewati ruang tamu tanpa suara.

"Senja emang pinter masak, ga kayak adek kamu yang kerjanya di luar aja. Suka deh mama kalau ditemenin masak sama Senja."

Kanaya berhenti melangkah tepat di anak tangga ke tiga, mendengar perkataan ibunya yang sudah biasa.

"Hmmm."

Hanya deheman dan Kanaya mendengus. Apa yang diharapkan dari kakaknya? Membelanya? Jelas tidak mungkin kalau pria bernama lengkap Gibran Radenjaya itu ada di pihaknya. Ia kemudian memilih abai dari drama malam hari di ruang tamu.

Kanaya mengambil handphone setelah menutup pintu kamar. Ia membaca beberapa pesan sebelum membalasnya dengan cepat. Dua hari lagi, sekolah tempat ia mengajar akan ada penilaian dari pengawas dan semua berkas harus segera disiapkan. Itulah kenapa ia sering pulang malam. Memilih menyelesaikan pekerjaan nya di luar sampai larut dan kembali ke rumah hanya untuk sekedar tidur.

Tapi sepertinya malam ini melanjutkan pekerjaan adalah pilihannya.

...

Pukul setengah tujuh, Kanaya turun dari tangga, ia berniat untuk ke ruang makan dan sarapan tapi langkahnya terhenti karena melihat Senja ada disana. Duduk di kursi yang biasanya ia tempati dan bersenda gurau dengan ibu dan kakaknya.

Kanaya memilih berbalik dan segera pergi dari sana. Ia akan sarapan di sekolah seperti biasanya kalau ada Senja di rumah. Tepat ketika ia mengeluarkan sepeda motor matic miliknya, ia melihat seseorang disana. Berdiri di depan rumah dalam keadaan kacau. Kanaya mengerutkan dahi terlebih saat orang itu berbalik dan melihatnya.

"Kak Dewa."

Kanaya agak terhuyung karena Senja yang tiba-tiba berlari dan entah sengaja atau tidak menabrak bahunya, tidak terlalu keras memang.

"Ayo masuk kak, ada kak Gibran juga di dalam. Kak Gibran pasti seneng banget kalau tau kak Dewa sudah balik dari Jerman."

"Kamu kenapa ada disini?"

"Aku nginap disini kak. Ayo kak, belum sarapan kan?"

Kanaya memilih abai, ia tadi sempat melirik ke arah Dewa dan mendapati kalau pria itu juga menatapnya membuat Kanaya merasa malu. Ia memutuskan untuk segera berangkat saja.

"Dewa sudah pulang? Kok ga ngabarin Tante? Ayo ayo masuk, Tante sudah masak di dalam. Sarapan bareng-bareng."

Kanaya masih disana. Ia baru saja memasukkan kunci sepeda motor tepat setelah ibunya datang dan bersikap ramah pada orang yang tidak dikenal Kanaya tapi dikenal baik oleh keluarganya. Respon hangat keluarganya pada Senja dan orang baru itu membuat Kanaya meringis. Dia saja belum disambut hangat selama ini.

"Loh, Kanaya, kamu mau berangkat?"

Kanaya menoleh lalu mengangguk. Semua orang menatapnya dengan tatapan berbeda dan Kanaya malas dibuatnya. Dengan senyum kecil ia berkata, "Ini mau berangkat, Ma. "

Tanpa menunggu jawaban, Kanaya menyalakan sepedanya dan berlalu. Ia mendengus karena mengharapkan ibunya mengajaknya untuk sarapan, tapi justru orang lain yang mendaptkannya. Kanaya ada tapi terkesan tidak ada. Dia hanya harus sadar kalau semua orang di keluarganya seakan enggan dengan dirinya.

"Kamu kayaknya keseringan sarapan di kantin sekolah deh, Nay. Emang di rumah ga ada yang masakin?"

Kanaya menoleh lalu tersenyum kecil pada Naura Nadiandra. Ia sudah duduk di kantin dan menikmati sarapannya sejak lima menit yang lalu. "Ada Senja di rumah."

Naura yang mendengarnya mendesis dan duduk di hadapan Kanaya lalu menopang dagu. Ia tidak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya ini. Sepupunya di rumah menggantikan posisinya tapi ia memilih diam saja.

"Senja ini tunawisma emang? Kok sering banget di rumah kamu?"

Naura hampir saja meledakkan tawanya tapi ia memilih menahannya karena sedang mengunyah makanan.

"Orang tuanya lagi di luar kota, jadi ya dia nginep di rumah. Sudah biasa begitu juga."

Naura menggeleng, "Enggak, enggak. Senja ini emang ga tau diri sih kalau dilihat-lihat." Naura menghela nafas kemudian mengganti topik, "Berkas yang diminta pak Bambang sudah selesai?"

Kanaya mengelap mulutnya dengan tisu dan mengangguk.

"Kamu ngerjain sampai jam berapa tadi malam? "

"Jam satu. Bisa sih aku handle hari ini saja. Tapi berkas yang lain nunggu di kelarin juga."

"Pak Bambang harus ngasih bonus besar nih sama kamu."

Kanaya meringis, "Mana ada. Ini bukan kantor, ini sekolah. Ga ada bonus."

Naura tertawa kemudian berujar, "Ikhlas ya motonya jadi guru."

"Iya."

Naura berdiri tepat setelah bel sekolah berbunyi, "Ayo masuk, Nay. Ketemu anak-anak di kelas kayaknya bikin mood kamu makin baik daripada di rumah. Iya kan? "

Kanaya berdiri dan mengangguk, "Setidaknya aku merasa ada teman kalau di sekolah."

Setidaknya ada yang menanyakan kabarnya di sekolah.

Setidaknya ada yang bertanya ia sudah sarapan apa belum.

Dan setidaknya ada yang mengajaknya untuk mengobrol tanpa menghakiminya.

Kanaya merasa hidup kalau di sekolah dan ia bersyukur akan hal itu.

Satu pesan masuk membuat atensinya terganggu. Ia memperhatikan satu pesan itu dengan hati mencelos.

Nay, mama lagi shopping sama Senja. Jadi mama ga masak. Kamu makan di luar ya.

Kapan terakhir kali ia pergi berdua dengan ibunya?

Tujuh tahun yang lalu mungkin.





Like dan Coment nya ya teman-teman. Terimakasih.

RED STRINGWhere stories live. Discover now