"Jadi itu artinya sekarang keberadaan kita disini dalam bahaya?"
"Aku rasa begitu. Dan lagi, bukan hanya Nitro saja, tapi tangan kanannya juga sama. Mereka berdua, sudah berada di pihak Enigma."
"Apa?!"
Senta terdiam setelah mendengar semua itu. Nitro? Bersama Enigma? Dan mereka menyebutnya berkhianat? Senta langsung terpikirkan itu adalah Ann. Ya, jelas itu adalah Ann. Satu-satunya orang yang bersama Enigma hanyalah Ann. Jadi, nama asli Ann adalah Nitro? Lalu tangan kanannya, sudah pasti itu Nao, kan?
Senta menatap paperbag kosong di depannya. Kembali ke dapur yang sunyi. Senta terdiam memikirkan percakapan itu. Ann merespons saat mereka menyebutkan nama itu? Lalu kenapa sekarang Alva yang seperti ini? Senta kembali menyentuh dagunya, berpikir.
Apa sempat terjadi pertengkaran? Tapi jika melihat dari reaksi orang yang memberi perintah itu, sepertinya tidak. Atau Ann meminta izin untuk kembali, lalu bocah itu (Alva) yang tidak mengizinkan? Jika benar seperti itu, wajar. Saat kecil, bocah itu punya trauma ditinggalkan, kan? Lalu ... tangan kanannya juga sama? Apa itu Nao? Ya, sepertinya begitu, hanya Nao rekan kerja Ann. Jadi mereka juga menemui Nao? Kapan? Siang? Tapi tadi siang bocah itu (Nao) tidak menunjukkan gelagat aneh. Atau saat malam? Tadi mereka ke supermarket sih.
Senta terus berdialog di dalam kepalanya. Ia pusing harus mengurus yang mana terlebih dahulu. Memeriksa Alva dan Ann? Tapi bagaimana jika kondisi Nao di luar sana juga tidak baik? Jika pergi ke Nao lebih dulu, bagaimana keadaan Ann di sana? Ia tak tahu apa yang Alva lakukan pada Ann untuk menahannya. Tapi jika dirasakan dari hawa negatif ini ... sepertinya tidak baik.
"Seharusnya Alva tidak akan melukai Ann, kan? Jadi aku hanya perlu memeriksa Nao. Kuharap dia baik-baik saja."
"Kenapa Nao tidak baik-baik saja?"
Pertanyaan itu mengejutkan Senta. Ia langsung berbalik dan mendapati Sofiee berdiri di belakangnya. Dia mendengarku? "Eh, umm, tidak kok. Aku hanya—"
Tiba-tiba Sofiee menarik kemeja Senta, mengeluarkan pisau dan langsung menempelkan di leher Senta. Tatapan tajam tentu menjadi pemandangan yang dilihat Senta. Tampaknya, Sofiee tak membiarkannya kabur lagi.
"Jangan kabur, dan katakan dengan jelas. Ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa akhir-akhir ini semua pergerakanmu sangat mencurigakan?"
Senta diam tak berkutik. Ia menatap ke arah lain, tampak berpikir. "Emm. Oke-oke, baiklah, akan aku katakan. Tapi turunkan dulu pisaumu. Aku akan mengatakannya padamu ... dan juga Ayah."
Sofiee langsung menoleh, rupanya figur sang Ayah ada di belakangnya. Sang Ayah meletakkan botol susu kecil di atas meja, lalu mendekat. "Ada apa dengan Nao? Apa terjadi sesuatu?"
Senta diam sejenak. Tak lama, ia menghela napas panjang. "Tidak kamu, tidak Ayah. Kenapa kalian sensitif sekali jika menyangkut tentang Nao?"
"Karena Nao pernah terluka," jawab Sofiee dan sang Ayah bersamaan. Mereka bertatapan sejenak, lalu kembali pada Senta.
"Nao terluka karena aku," sambung Sofiee.
"Ayah juga bertanggungjawab atas luka yang diderita Nao."
Senta diam sejenak. Ia kembali menghela napas panjang. "Baiklah-baiklah. Begini ...." Senta diam sejenak, ia memikirkan bagian mana yang harus ia katakan. "Ayah pasti tahu, kan? Jika Nao akan mengalami perubahan?"
Sofiee menatap sang Ayah. Ayah juga sudah tahu?
"Ya, Ayah tahu, tapi apa perubahannya sudah terjadi? Apa ini alasan Alza tidak terlihat malam ini?"
"Yup, benar sekali," jawab Senta. "Aku rasa Ayah sudah tahu kedekatan keduanya, karena itu aku meminta mereka untuk lebih serius. Dia (Alza) pasti menyesal jika tidak segera mengamankan-nya. Aku meminta mereka lebih serius karena aku sudah muak melihat mereka kasmaran di kantor. Aku hendak meminta Sofiee untuk melakukannya, tapi ternyata Sofiee tidak mau."
"Jangan bicara sembarangan," ketus Sofiee.
Senta tertawa melihat itu. Tak lama, sang Ayah bertanya. "Jadi, apa maksudmu Nao tidak baik-baik saja?"
"Ah, ituu ...." Senta diam sejenak, menatap ke arah lain. "Sebenarnya, ada masalah yang mungkin akan berpengaruh besar."
"Masalah besar?"
"Ya." Senta mengangguk. "Aku tidak tahu mereka ini siapa, tapi aku rasa ... mereka tidak menyukai kita."
"Kita? Maksudmu Edison?"
"Enigma, exactly."
Hening, Sofiee terdiam seketika. Begitupula sang Ayah yang sekarang menunduk murung. Jelas, ini pasti berkaitan dengan masa lalu ayahnya dulu. "Jadi, apa mereka akan menyerang?"
Senta diam sejenak. "Sepertinya iya. Tapi aku rasa juga tidak."
Sang Ayah kembali terdiam. Ia menunduk beberapa saat. "Sebisa mungkin, jangan menyentuh apalagi menghabisi mereka. Jangan. Ayah hanya ingin kita membangun kedamaian saja. Jika mereka bisa diajak berdamai, maka lebih baik berdamai saja. Sebisa mungkin, jangan menyerang mereka. Ayah tidak mau tangan kalian berlumur darah lagi."
"...."
"...."
"Kita sudah berdiri lagi setelah tragedi besar itu, dan kita sudah sedamai ini. Ayah hanya tidak ingin kita berhadapan dengan hal buruk yang menjatuhkan nama Edison lagi. Ayah tidak bermaksud tak ingin jatuh lagi, tetapi Ayah hanya tidak ingin masa depan si kembar suram. Sudah cukup kita saja yang merasakan pandangan buruk karena nama kita pernah ternoda. Sekarang, usahakan untuk tidak terlibat hal buruk lagi, ya?"
Senta dan Sofiee terdiam. Mereka bertatapan sejenak lalu bersedekap. Senta semakin banyak berpikir dan menimbang. "Benar juga, kasihan si kembar. Kalau begitu, ganti plan saja."
"Kamu berkata ganti plan. Jadi, kamu sudah berpikir untuk bergerak dan menyelesaikannya sendiri?"
"Jika kamu ingin aku jujur, maka jawabannya, ya. Aku merasa mereka cukup mudah untuk aku atasi sendiri. Andai aku tidak berpikir Alva akan menghajarku karena terlambat kembali, aku sudah mencari mereka semua dan menghabisinya sampai ke akarnya .... Hmm, betul juga. Sekarang Alva sedang rut, kan? Harusnya tidak masalah jika aku terlambat. Ahh, seharusnya tadi aku bereskan saja."
Sofiee dan sang Ayah diam bertatapan. Hanya dari kata-katanya saja, mereka sadar jika Senta masih tergolong sangat berbahaya untuk dilepaskan sendiri. Kini, mereka sadar kenapa Alva selalu marah ketika Senta berkeliaran di luar. Rupanya, Alva memang tidak berlebihan, tapi Alva memang tahu seberapa bahayanya Senta.
Tak lama, Senta kembali bersuara, "Dari yang aku dengar, mereka baru kembali. Sepertinya, mereka adalah orang-orang lama yang sempat pergi lalu kembali lagi ke negara ini. Dan ...." Senta langsung terdiam, berpikir. Ia teringat lagi dengan nama Nitro, nama asli Ann. Dan juga .... "Aku tak yakin dia adalah Nitro yang disebutkan Jenderal."
Kalimat itu kembali berputar di kepala Senta. Satu hal yang membuatnya terus berpikir. Jenderal? Apa itu benar-benar seorang jenderal? Ataukah hanya sebutan semata? Tidak, itu pasti hanya sebutan. Aku yakin begitu.
.
.
.
To be continued ....
YOU ARE READING
I'm not Enigma S2
FantasyPerang besar hari itu berakhir dengan baik. Baik? Benarkah? Semua orang kembali mendapatkan ketentramannya. Namun ketentraman itu tak selamanya membawa dampak baik. Sebab bahaya selalu mengintai di mana pun mereka berada dan mulai menyerang perlah...
9. A 'Big' Problem
Start from the beginning
