Alena menyingkirkan buku yang menutupi wajahnya itu. Ia melihat ke jalanan sore yang hampir menutup dirinya.

“Hmm, nggak ada, Pak,” jawab Alena.

“Lagian dulu saya sekolah cuma sebentar karena harus pindah lagi ke Jakarta. Jadi, walaupun ada saya nggak mungkin ingat,” sambungnya.

Pak Wahid mengangguk. Ia tak bertanya lagi pada Alena.

Alena lahir di Semarang. Ia dibesarkan oleh neneknya dari pihak ibu sampai ia PAUD. Namun, hanya dua bulan saja karena Alena harus ikut ibunya lagi di Jakarta. Dalam waktu sesingkat itu, Alena mengenal Ghifary.

Masih teringat jelas dalam ingatannya tentang sosok Ghifary.

Tapi, untuk apa dia mengingatnya?

Ghifary adalah cowok jahat. Mulutnya setajam silet. Dia tidak pernah menganggap Alena. Alena bahkan sudah berusaha untuk bisa berteman dengannya. Tapi, Ghifary justru mencampakkannya dan bilang tidak mau berteman dengannya.

Alena juga mengutuk sekolah itu karena dia harus bertemu cowok itu lagi disana.

Hah, ini hari pertamanya kembali bersekolah tapi entah sudah berapa kali umpatan yang keluar dari mulutnya.

Mobil hitam metalik itu berhenti di sebuah rumah. Rumah neneknya. Rumah yang dulu membesarkannya. Benar. Disilah Alena merasa hidup.

Alena langsung keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah. Dia memeluk seorang wanita paruh baya yang sudah telihat bungkuk.

“Nenek! Nenek! Alena pulang! Nenek masa apa?” tanyanya begitu antusias.

Nenek Ika. Nenek Alena balas memeluk cucu kesayangannya itu.

“Alena, kamu lapar ya?”

Alena mengangguk.

Bertemu dengan Ghifary memang bagai mimpi buruk untuk Alena. Namun, ketika melihat wajah sendu neneknya Alena seolah menyingkirkan perasaan kesalnya. Dia begitu senang akan tinggal kembali bersama sang nenek.

“Alena, gimana hari pertama sekolah kamu? Kamu bahagia?” tanya Nenek.

Bahagia?

Alena melihat Neneknya yang sudah tua tetap mengambilkan makanan untuknya. Sama seperti ketika Alena kecil dulu. Rasanya begitu hangat.

Alena tersenyum, “iya Nek, Alena bahagia kok. Alena suka semua teman baru Alena.”

***

Tadinya, Alena ingin menjauh dari Ghifary seolah-olah ia tidak pernah bertemu dengannya. Ia akan menganggap Ghifary seperti kutu di sekolah. Kecil, dan tak terlihat.

Tapi, apa ini?

Pagi-pagi, Ghifary sudah membuat keributan!

Ghifary menarik tas Alena sangat kencang hingga Alena hampir jatuh.

“Ish, apaan sih? Bisa nggak jangan narik-narik tas orang kayak gitu? Kalau gue jatuh gimana?!” Alena mendesis. Mengisyaratkan agar Ghifary segera melepaskan tangannya detik itu juga dari tas Alena.

In My MemoryWhere stories live. Discover now