Malam itu udara terasa pekat. Langit di luar jendela berwarna hitam legam tanpa bintang, seolah seluruh cahaya tersedot entah ke mana. Di luar, jalanan sunyi dan gelap, hanya sesekali terdengar suara motor tua melintas cepat.
Aku terbangun dari tidur nyenyakku karena mendengar sesuatu. Suara itu samar, seperti gumaman. Namun terkadang terdengar seperti tawa kecil, dan terkadang seperti napas berat. Sial! Orang gila mana yang berani berhubungan badan di dekat sini? Tidak mungkin itu orang-orang yang pernah kuhajar sebelumnya. Pasti orang baru yang mengira kalau kos ini sudah tidak ada penghuninya.
Makin lama kudengar, suara itu jadi makin jelas. Kurasa suara ini berasal dari arah halaman belakang kos. Entah jam berapa sekarang, tapi yang pasti sudah lewat tengah malam. Akhirnya, aku membuka mataku perlahan dan menyesuaikan diri dengan gelap. Lampu di luar kamar kos mati, meninggalkan cahaya remang dari ujung koridor yang hampir tak cukup untuk mengusir bayangan.
Aku hampir lupa bahwa Vira ada di sini. Aku melirik ke samping, tempat Vira tidur. Tubuhnya bergerak pelan, gelisah, tapi matanya tetap tertutup rapat. Seolah dia juga mendengar suara itu, dan entah kenapa, dadaku berdebar lebih cepat dari biasanya.
Aku menelan ludah susah payah. Entah sejak kapan jantungku mulai berdebar. Aku bergumul dengan pikiranku sendiri. Haruskah aku mengusir mereka? Aku tahu di lingkungan ini, suara-suara seperti itu tidak aneh lagi, tapi aku tak ingin suasana jadi canggung karena suara keramat itu.
"Vira..." bisikku.
Vira tiba-tiba membuka matanya perlahan. Wajahnya merah, tatapannya intens, seolah ada sesuatu yang ingin dia ungkapkan tapi terhalang oleh kata-kata. Aku hanya menatapnya tanpa kata-kata. Darahku berdesir cepat. Aku menelan ludahku sekali lagi, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Kamu denger juga?" tanyaku, menahan suara serendah mungkin.
Vira menatapku beberapa detik, seolah mencoba membaca isi pikiranku. Ia tidak menjawab, hanya menghela napas. Pipinya bersemu merah, meski aku tak yakin itu karena udara yang pengap atau alasan lain.
Merasa dia tak akan menjawab, aku bangun dari tidurku, meraih hoodie yang tergantung di kursi, dan bersiap untuk keluar. "Mau aku usir mereka? Kalau itu berandalan seperti kemarin–"
Belum sempat aku meraih gagang pintu, Vira meraih lenganku. Genggamannya hangat dan mantap, tapi tidak memaksa.
"Tara..." suaranya nyaris tak terdengar. Ia pun melanjutkan, "jangan keluar."
Aku terhenti. Matanya menatapku lama, lalu ia bergeser sedikit mendekat. Jarak kami hanya beberapa inci, cukup untuk merasakan panas napasnya. Tak ada kata-kata lagi, hanya tatapan yang menggantung di antara kami.
Aku bisa merasakan detak jantungku sendiri. Entah kenapa, suara samar di luar tiba-tiba tak lagi terdengar penting. Yang ada hanya keheningan di antara kami, yang menuntut dipecahkan.
Gawat, ini tidak boleh dibiarkan. Aku berusaha menenangkan hati dan pikiranku lalu berkata, "baiklah."
Aku kembali berbaring, tapi tidak berbalik. Vira juga tetap menghadapku. Kami tidak banyak bicara. Hanya saling menatap, saling menyadari jarak yang makin lama makin menghilang. Di luar, suara samar itu perlahan memudar.
Aku mengulurkan tangan, menggenggamnya pelan. Dia menggenggam balik dengan erat, dan suasana berubah menjadi hangat meski di luar masih dingin dan gelap. Aku menarik kepala Vira mendekat, memberikan inisiatif lalu menciumnya dengan tempo pelan. Setelah mendapat lampu hijau dari Vira, tanganku mulai menyentuh bagian bawahnya. Aku berterima kasih kepada siapapun di luar yang sudah membangkitkan hasrat Vira.
*
*
*
Pagi datang dengan cahaya kusam. Matahari seperti enggan muncul, hanya meninggalkan kilau keemasan yang suram di langit timur. Aku sudah bangun lebih dulu, duduk di tepi ranjang sambil menatap secangkir kopi instan yang masih mengepulkan uap.
Vira terbangun perlahan. Rambutnya kusut, tapi senyumnya kecil, nyaris tak terlihat.
"Kamu bangun pagi banget," katanya, suaranya masih serak. Aku memandanginya yang sedang merenggangkan tangannya ke atas. Hal itu membuat lekuk tubuhnya terlihat dan sangat menggoda.
"Biasa," jawabku singkat, lalu mengalihkan pandangan sambil menyeruput kopi. Tiba-tiba aku teringat panggilan telepon dari ibuku tadi pagi.
"Aku mau ajak kamu keluar hari ini," lanjutku.
"Ke mana?" tanyanya sambil mengucek mata. Vira kemudian duduk santai di sebelahku. Aku mengamati semua tindakannya diam diam.
"Ke rumah keluarga besarku. Katanya mau ada reuni."
Vira terdiam, lalu mengangguk. "Reuni keluarga, ya? Kedengarannya ramai."
"Ya...." Aku mengalihkan pandangan ke jendela. Sepertinya kita harus buru-buru.
"Kita berangkat sebelum siang. Aku nggak mau kelamaan di jalan. Sekarang lagi nggak aman kalau sore."
Vira hanya menggumam pelan, lalu bangkit dari ranjang. Ada banyak hal yang ingin kukatakan, tapi kuurungkan. Tidak di pagi ini. Tidak sebelum kami keluar dari kota ini.
Karena entah kenapa, aku merasa reuni keluarga hanyalah sebagian kecil dari alasan kenapa aku ingin membawanya pergi.
YOU ARE READING
Time Loop (GL) ✅
Science FictionSejak berita beredar tentang adanya lubang hitam raksasa yang sedang menuju ke Bumi, dunia terasa sepi. Hal itu terjadi dua tahun yang lalu. Beberapa ilmuwan bersikeras bahwa itu berita asli. Tapi sebagian orang termasuk aku hanya menganggapnya prop...
