11. ANAK CICAK

4.1K 295 49
                                        

بِسْـــــــمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Udah lama ya nggak update di sini?
Kalian sih males vote

Hari ini novel Langit Madinah pre order, jangan lupa ikutan!

•••••

Madinah, Saudi Arabia.

Ba’da subuh, semua payung sudah terbuka begitu pula dengan atap yang berada di dalam Masjid. Madina sedang bermuraja’ah sendirian di Masjid, dia tidak sendirian, ada umma dan ibu mertuanya yang juga sedang beri’tikaf di Masjid. Sementara Langit seperti biasa, dia lebih suka shalat sendirian di hotel ketimbang ikut berjama’ah, Madina tidak ingin memaksa, baginya Langit mau menunaikan shalat saja itu sudah cukup.

Step by step adalah cara mengajak seseorang berhijrah dengan tenang tanpa paksaan, memaksa untuk berubah secepat kilat tidak mungkin karena kehidupan manusia itu seperti tangga, harus dilewati satu persatu agar ia bisa selamat.

Setelah mengakhiri kegiatannya, Madina melihat ke arah luar Masjid dimana langit di kota Madinah pagi ini sudah cerah, wanita itu tersenyum lalu meminta izin kepada umma dan ibu mertuanya untuk kembali duluan ke hotel. Madina berjalan sendirian menuju kamar hotel, tiba-tiba ponsel ditangannya berdering.

“Mas Langit?” Tidak menunggu lagi, Madina segera mengangkat panggilan dari suaminya itu.

“Assalamu’alaikum, Mas.”

“BU HAJJAH, KAMU DIMANA? CEPAT BALIK KE HOTEEELL!!” Madina tersentak kaget mendengar suara Langit yang begitu keras di telinganya. Bukannya menjawab salam dulu, suaminya itu malah berteriak seperti sedang ketakutan.

“Ada apa, Mas?”

“CEPETAN BALIK KE HOTEL!! ADA MONSTER DI KAMAR MANDIII!!”

“Iya-iya, saya sekarang lagi menuju ke hotel. Memangnya ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba takut? Dan... monster apa maksudnya?”

“ANAK CICAAAAKKK!!”

Alis Madina mengerut, “Anak cicak?”

“ADA ANAK CICAK DI KAMAR MANDI, CEPATAN BALIK, BU HAJJAH!”

“Iya-iya, saya akan segera ke sana.” Setelah memutuskan panggilannya, Madina mengembuskan napas sejenak sambil mengusap dada. “Jadi... dia takut sama anak cicak?”

Madina tahu bahwa sifat suaminya itu beda dari lelaki lain, dari sejak pertama bertemu, Madina sudah bisa melihat bahwa Langit memang masih kekanak-kanakan dan juga penakut, namun Madina tidak ingin mengeluh hanya karena memiliki seorang suami seperti Langit.

Apapun kekuranganmu, kau tetap suamiku, Raden Langit Kanigara.

Dimanapun letak kekuranganmu, aku akan berusaha melihatnya dengan cinta.


***


Madina sudah tiba kembali di kamar hotel, matanya langsung tersita pada Langit yang sedang menenggelamkan diri di bawah selimut tempat tidur. Jadi dia takut sama anak cicak sampai segitunya? Pikir Madina.

“Mas Langit?” panggil Madina seraya mendekat.

Begitu mendengar suara sang istri, Langit segera bangun menghempaskan selimutnya asal dan segera merangkul Madina.

Tubuh Madina kaku di tempat ketika Langit tiba-tiba memeluknya seperti ini, Langit benar-benar kelihatan seperti orang yang baru saja melihat monster. “Bu Hajjah, ada anak cicak di kamar mandi....” adu Langit seperti anak kecil yang sedang berhadapan dengan ibunya.

Langit memeluk istrinya dengan erat, tubuhnya gemetar dengan mata tertutup, napasnya juga terlihat tidak teratur, sepertinya Langit ingin menangis. Madina melepas pelukannya sejenak, menyuruh Langit untuk membuka mata, tangannya ia gunakan untuk memegang kedua pipi suaminya, jika saja ada orang yang melihat, mungkin tidak ada yang sadar bahwa mereka adalah suami-istri.

“Mana anak cicaknya?”

“Di kamar mandi....”

“Kenapa kamu tidak bunuh saja? Dan kenapa kamu harus takut? Itukan cuma anak cicak?”

“Cuma kamu bilang? Anak cicaknya mirip monster, Bu Hajjah, lagian aku bukan takut, cuma geli.”

Madina menghela napas, “Ya sudah, saya lihat dulu....” Madina segera masuk ke kamar mandi untuk melihat keberadaan anak cicak itu.

Langit mengekori istrinya dari belakang sambil berpegangan erat pada abaya hitam yang Madina pakai. Madina mencari keberadaan anak cicak itu ke setiap sudut kamar mandi, namun ia tidak menemukan apa-apa. “Sepertinya anak cicak itu sudah pergi.”

“Kamu yakin?”

“Iya, kamu tidak usah takut lagi,”

“Nanti kalau anak cicaknya muncul lagi gimana?”

“Kamu tinggal panggil saya saja. Sekarang saya keluar dulu, kamu mau mandi ‘kan?”

“Temeniiinn....” pinta Langit dengan mata memelasnya. Madina seketika shock, temenin? Maksudnya temenin dia mandi? Ah tidak! Walaupun sudah menikah keberanian Madina belum sampai di titik itu.

“Kamu mandi saja, anak cicaknya sudah tidak ada kok,”

“Ya udah, tolong ambilin bathrobe aku bentar!”

Madina segera melaksanakan titah suaminya, Langit melirik-lirik kembali ke atap kamar mandi untuk waspada, takutnya anak cicak tadi tiba-tiba muncul kembali. Sesaat kemudian, Madina kembali dengan satu bathrobe putih milik Langit di tangannya. “Ini, habis mandi jangan lupa wudhu’ juga ya!”

“Wudhu’? ngapain? Kan tadi aku udah shalat subuh.”

“Bukan, maksudnya wudhu’ untuk shalat duha.”

“Oh, ya udah deh.”

Madina kembali keluar dari kamar mandi, wanita itu memilih berdiri di dekat jendela sembari menatap keindahan kota Madinah dari atas. Sungguh kota yang begitu tenang, tidak banyak polusi akibat asap kendaraan dikarenakan motor tidak diperbolehkan beroperasi di kota ini, jadi tentu saja udara segar bisa dirasakan setiap detik.

Momen pernikahan mereka kemarin kembali terlintas di benaknya, pernikahannya yang terjadi begitu cepat membuat Madina terkadang lupa bahwa ia sudah bersuami. Pacaran setelah menikah? Mungkin orang-orang akan menganggap tujuan mereka menikah adalah untuk itu, namun Madina sendiri berkeinginan untuk mengenal sosok Langit lebih dalam lagi karena tujuan pernikahan yang sebenarnya adalah mendapatkan teman hidup bukan sekedar pasangan hidup.

Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, Madina langsung memalingkan wajahnya ke arah lain, Langit hanya mengenakan bathrobe yang menutup sampai bawah lututnya saja, namun Madina tetap tidak berani melihatnya. “Kok kamu nggak lihat aku? Malu?”

“Cepat ganti baju!” Madina memerintah, namun nada suaranya tetap terdengar lembut.

Langit hanya mencebikkan bibir dan langsung mencari baju ganti di dalam kopernya. Sebelum berangkat ke Madinah, papanya sempat membelikan dirinya beberapa jubah dengan warna yang berbeda, kalau saja tidak sedang berada di negeri religi seperti ini, mungkin Langit juga tidak mau mengenakan jubah.

Pilihannya jatuh pada jubah berwarna hitam polos, kebetulan juga Madina sedang mengenakan abaya hitam, jadi ia sengaja menyamakan biar kelihatan couple dengan pakaian sang istri. Setelah mengganti pakaian, Langit mendekat ke arah Madina yang sejak tadi enggan menatapnya. “Hei, Bu Hajjah, aku udah ganti baju nih.” Katanya.

Akhirnya Madina berbalik arah seperti semula, tatapan kagum terpancar melihat aura dewasa Langit muncul ketika ia mengenakan jubah seperti itu. “Ganteng nggak?” tanya Langit.

“Hm, ganteng.” Jawab Madina, singkat. Senyuman di wajah Langit seketika memudar.

“Cuek amat!” Langit meraba rambutnya yang masih acak-acakan, “Oh ya, sisirin rambut aku dong!”

“Memangnya kamu tidak bisa sendiri?”
Langit tiba-tiba kena mental, “Kok gitu sih? Bukannya seorang istri harus turutin perintah suaminya?”

“Saya bukannya tidak mau, tapi kamu kan sudah berwudhu’, jadi saya tidak mau wudhu’ kamu batal gara-gara saya.”

“Batal? Kok batal sih? Kita kan udah nikah, udah jadi mahram lho.”

“Iya, kita memang sudah menjadi mahram dan halal untuk bersentuhan, tapi kita bermazhab Syafi’i dan di dalam Mazhab ini hukumnya batal karena kita tidak memiliki hubungan darah, jadi seperti hukum syariat Islam di Mazhab Syafi’i, jika kita bersentuhan setelah berwudhu’ baik disengaja ataupun tidak, hukumnya batal.”

“Oohh, gitu ya?” Langit menggaruk-garuk kepalanya karena baru tahu.

“Sekarang kamu shalat duluan saja, saya mau wudhu’ dulu.”

“Shalat duha?”

“Iya, shalat duha itu paling sedikit dua raka’at, jika kamu mampu kamu bisa mengerjakannya sampai dua belas raka’at, hukumnya Sunnah, untuk bacaan niatnya seperti ini....

اُصَلِّى سُنَّةَ الضَّحٰى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً ِللّٰهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatadh dhuhaa rak’ataini mustaqbilal qiblati adaan lillaahi ta’aalaa.

“Pada raka’at pertama, kamu boleh baca surah Asy-Syams dan pada raka’at kedua surah Adh-dhuha, tapi jika kamu belum hafal boleh dibaca ayat yang lain saja.” beritahu Madina.

“Terus keutamaannya apa?”

“Banyak, salah satunya dibukakan pintu rezeki dan do’a kita juga mudah dikabulkan.”

“Okeh, aku shalat dulu. Nanti kalau ada yang salah tolong kasih tahu, ya!”

Senyum mengembang di wajah Madina, ternyata Langit tidak sekekanak-kanakan itu, dia juga bukan pendosa. Dia adalah manusia yang sempat melupakan Tuhan-nya, kini kembali untuk mengisi waktu berharga yang sempat ia lubangi sendiri. Biarpun kita hanya dijodohkan, kita harus saling, jangan asing!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 08 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Langit Madinah Where stories live. Discover now