Dosen memperkenalkan.
“Untuk dua minggu ke depan, karena ini kelas gabungan lintas jurusan, Fakultas Hukum mengutus pengawas dari BEM untuk membantu pengelolaan daftar hadir dan absensi—mengingat banyak mahasiswa lintas fakultas yang ikut kelas ini. Ini Ketua BEM kita, Druvian Thorne.”
Tepuk tangan sopan mengalun pelan. Ada yang keliatan kagum, ada yang malah langsung bisik-bisik. Apalagi anak-anak dari luar FH—yang cuma tahu nama dan reputasi doang.
Lisya nyeletuk pelan di samping gue.
“Lo serius bilang nggak deket sama dia? Dia liat lo terus, Zell.”
Gue pura-pura nggak denger.
Rio ngangguk ke depan. “Diem-diem galak, diem-diem jadi pengawas, diem-diem ganteng. Gila, hidup cowok ini udah kayak dark academia aesthetic TikTok.”
“Lo ngatain dia atau muji, Yo?”
“Dua-duanya.”
Gue senyum sekilas, tapi tangan gue mencengkram bolpoin. Mata gue enggak bisa lepas dari pria di depan kelas itu. Berdiri tegak, diam, matanya sesekali menelusuri baris-baris kursi mahasiswa. Dan pas dia nyangkut di tempat duduk gue...
Ya, dia ngelakuin itu lagi. Tatapan satu detik, alis naik, bibir nyungging. Senyum minimalis dengan efek maksimal.
[1 Pesan dari: Raine]
Kalau lo ngobrol terus, gue catet.
Gue langsung panik.
Ngetik cepat:
Beneran lo?!
Gue diem kok sekarang.
Balasannya cuma satu kata:
Good.
Gue gigit bibir. Nahan senyum. Nahan deg-degan. Nahan semuanya biar nggak bocor di depan Lisya dan Rio yang udah siap bergosip lebih dalam.
---
Kelas selesai. Mahasiswa mulai pada beres-beres, suara kursi digeser-geser jadi background noise yang biasa. Dosen udah jalan keluar duluan, ninggalin whiteboard penuh coretan dan Druvian yang masih berdiri di depan, nyusun lembar presensi.
Lisya nunduk sambil nyolek lengan gue.
“Ayo cabut sebelum yang lain rebutan warteg.”
Rio udah berdiri duluan, nyari-nyari sinyal di HP.
“Bentar, gue nyari e-money. Parkiran tadi bayarannya pake scan.”
Gue ikutan berdiri, tapi baru selangkah, suara dingin dari depan nyetop langkah gue.
“Zell.”
Gue berenti. Miringin kepala, ngeliat dia yang nggak nunjuk siapa-siapa—tapi pandangannya langsung ke arah gue. Yang lain ikut ngelirik, tapi nggak ada yang nanya. Mungkin udah biasa liat ketua BEM ngelempar instruksi seketat itu.
“Lo bisa bantuin gue rekap presensi?” katanya, flat.
Kayak tugas formal, padahal gue yakin di laptop-nya tinggal klik doang.
Gue nunjuk diri sendiri. “Gue?”
“Lo.”
Tatapannya tetep. Tegas. Nggak ada ekspresi.
Rio langsung nyengir. “Wah, mulai nih... favorit dosen. Gue ke kantin duluan, ya.”
Lisya nyikut lengan gue. “Good luck, Zelleh.”
Mereka cabut. Dan gue akhirnya jalan ke depan, ngelewatin bangku kosong satu-satu sambil nahan jantung yang makin nggak konsisten.
Pas gue sampai meja dosen, dia duduk sambil buka laptop. Tapi layarnya gelap. Nggak ada file, nggak ada spreadsheet.
“Rekap mana?” gue nyoba sok tenang.
Dia ngangkat satu alis, pelan.
“Aku cuma pengen kamu diem di sini dua menit. Sama aku.”
Jebakan.
Gue mendesah. “Serius, Dru. Aku kira kamu mau nanya siapa yang cabut.”
Dia nyender ke kursi, lengan disilang.
Tatapannya turun ke arah tangan gue yang masih megang bolpoin.
ВЫ ЧИТАЕТЕ
Gee & Dru ; Between Rules and Ruins
Любовные романыDi mata kampus, Gizell Damaris dan Druvian Thorne adalah musuh alami, ibarat gula dan garam, selalu adu argumen, selalu berseberangan. Gizell si bawel yang hobi pakai outfit pink dan naik Vespa maticnya, selalu jadi pusat perhatian karena tingkahnya...
⚖️ 04; Rules on Paper, Ruins in Heart
Начните с самого начала
