Aula Fakultas Hukum ramai. Mahasiswa dari berbagai jurusan mulai memenuhi kursi, sebagian berdiri di pinggir ruangan. Tema hari ini: “Revisi KUHP: Perlindungan atau Pembungkaman?” — topik panas, dan Fakultas Hukum VS FISIP adalah kombinasi maut.
Gee duduk di barisan depan bersama Alya, Rio, dan Lisya. Rio udah gelisah dari tadi.
“Gue ngerasa kayak dikorbanin nih, bro,” gumamnya ke Lisya.
“Lo kan yang ngotot daftar jadi penanggap FISIP,” jawab Lisya kalem, sambil nyoret-nyoret notes.
“Gue kira bakal lawan anak FEB, bukan anak Hukum yang galaknya ngalahin dosen,” Rio lirik Gee.
Gee cuma nyengir tanpa dosa.
Di sisi panggung, Druvian berdiri dengan tangan menyilang, kemeja hitam dan ekspresi dingin kayak biasa. Dia duduk di panel utama, mewakili Fakultas Hukum, bersama dua senior lainnya.
Ketika namanya dipanggil, Gee maju ke podium. Sepatu boots-nya berderap pelan. Tatapannya langsung menyapu ruangan, lalu secara tidak sengaja berhenti di mata Druvian. Hanya sedetik—tapi cukup buat bikin jantungnya jedag-jedug nggak karuan.
“Gue Gizell Damaris, dari Fakultas Hukum. Dan gue menolak narasi bahwa revisi KUHP ini adalah bentuk pembungkaman.”
Nada bicaranya tenang tapi tajam. Debat dimulai.
Setelah Gee duduk, giliran Rio maju.
“Rio Arkananta dari FISIP. Jujur ya, argumen barusan manis banget—kayak pemanis buatan. Tapi sayangnya, tetap nggak sehat.”
Tawa pecah di ruangan. Gee melirik tajam.
“Kami di FISIP bukan cuma belajar teori. Kami belajar mendengar suara rakyat. Dan apa yang rakyat rasain? Takut, bukan dilindungi.”
Lisya ikut nimbrung sebagai tim penanggap. Dengan gaya ceplas-ceplosnya yang khas, dia menantang logika Gee dan panel Hukum.
“Kalian sibuk debat pasal, tapi lupa bahwa pasal itu ngatur manusia. Apa pasal bisa jaga perasaan rakyat kecil?”
Debat makin panas. Alya cuma bisa meringkuk di kursinya, berharap semua ini cepat selesai. Gee melirik ke kanan—mata Druvian mengawasinya dari jauh, penuh ketertarikan yang disembunyikan.
Di tengah debat, Gee maju lagi, kali ini langsung menanggapi argumen Rio dan Lisya.
“Rio, Lisya, lo bilang rakyat takut. Tapi apakah lo juga mendidik rakyat untuk paham hukum? Kalau takut karena nggak ngerti, salah siapa?”
Rio berdiri setengah, “Salah sistem lo, Zell! Sistem yang nggak bisa dijangkau sama semua lapisan!”
“Maka dari itu, revisi ini penting. Supaya hukum nggak cuma tajam ke bawah. Tapi lo nggak bisa tolak semuanya cuma karena takut.”
Gee bicara sambil sesekali melirik Druvian—yang senyum tipis melihat murid pengawasannya ini makin berani.
Tepuk tangan riuh. Pemandu debat harus netralin tensi yang makin naik.
Druvian akhirnya ambil mic.
“Gue rasa… kita semua punya poin masing-masing. Tapi hukum itu bukan buat ditakuti. Hukum itu alat.”
Dia berhenti sejenak, matanya menatap Gee,
“…dan alat, hanya berfungsi kalau dipahami. Bukan dibenci.”
Hening. Satu ruangan diam mendengarkan.
Gee terdiam. Hatinya sedikit bergetar. Dia tahu banget nada suara itu bukan untuk semua orang. Tapi buat dia.
---
Debat selesai. Aula mulai sepi, tapi tensi di kepala Gee belum juga turun.
Dia berjalan cepat keluar lewat pintu samping, napasnya masih berat. Bukan karena capek debat. Tapi karena tatapan itu.
Tatapan Druvian.
Dari awal sampai akhir, pria itu nggak pernah berhenti memperhatikan. Nggak ngomong banyak, tapi cara dia lihat Gee tadi... bikin kulit panas.
VOCÊ ESTÁ LENDO
Gee & Dru ; Between Rules and Ruins
RomanceDi mata kampus, Gizell Damaris dan Druvian Thorne adalah musuh alami, ibarat gula dan garam, selalu adu argumen, selalu berseberangan. Gizell si bawel yang hobi pakai outfit pink dan naik Vespa maticnya, selalu jadi pusat perhatian karena tingkahnya...
