Langkahnya berhenti begitu mendengar suara familiar dari belakang.
“Kamu marah?”
Suara rendah itu—datar tapi jelas—muncul di lorong sempit, dekat tangga darurat. Druvian bersandar di dinding, lengan menyilang, wajahnya tanpa ekspresi. Tapi matanya? Tetap sama: tajam, penuh bara, dan hanya tertuju ke satu arah.
Gee mendengus, lalu menatapnya tajam.
“Aku nggak marah. Tapi kamu... terlalu tenang untuk orang yang ‘nyuruh aku duduk dekat kamu’ tadi pagi, lalu malah diam aja pas debat berlangsung.”
Druvian jalan pelan ke arahnya. Langkahnya berat, tenang, dan berhenti satu jengkal di depan Gee. Tangan kirinya menyentuh dinding di belakang, memerangkap tubuh Gee tanpa sentuhan.
“Aku pengen lihat kamu berdiri sendiri. Dan kamu keren banget di atas sana.”
Gee terdiam. Nadanya berubah. Kata-kata itu… lembut. Tapi diucapkan dengan suara rendah, seolah hanya mereka berdua yang hidup saat itu.
“Jadi kamu diem-diem nikmatin aku diserang?”
“Aku nikmatin kamu nyerang balik.”
Gee menelan ludah. Jarak mereka terlalu dekat. Napas Druvian bisa dia rasain di pipi. Tatapan matanya turun perlahan ke bibir Gee.
“Kamu... sengaja?” bisik Gee pelan.
Druvian mengangguk pelan. Tangannya turun dari dinding, menyentuh dagu Gee dengan satu jari. Lembut tapi pasti.
“Aku suka kamu yang galak.”
Dan tanpa banyak kata lagi, Druvian mencium Gee.
Bukan ciuman manis kayak di rooftop kemarin malam. Ini lebih dalam, lebih intens, lebih... penuh rasa yang ditahan terlalu lama.
Gee membalas. Sama panasnya. Sama nekatnya. Jari-jarinya mencengkeram kerah kemeja hitam Druvian, seolah dia takut pria itu akan menghilang.
Beberapa detik. Mungkin menit. Mereka lupa dunia.
Begitu Druvian akhirnya menarik diri, keningnya menempel di kening Gee. Napas keduanya tak beraturan.
“Kamu bikin aku gila, Gee.”
Gee tersenyum miring.
“Bagus. Karena kamu juga udah bikin aku hancur sejak pertama.”
---
Sinar sore mulai redup. Tongkrongan antara dua fakultas yang biasanya rame dan berisik, sore itu jadi agak canggung buat satu orang: Gizell.
Gee duduk di bangku panjang, di antara Alya dan Lisya, sambil pura-pura nunduk main HP.
Padahal dia nggak baca apa-apa. Otaknya masih teriak.
"Dia nyium aku. Di lorong. Barusan. Dengan lidah."
Tangan Gee mencubit pahanya sendiri pelan.
“Zell, bibir lo kenapa?” tanya Alya tiba-tiba, matanya menyipit curiga.
Gee langsung ngangkat kepala, panik.
“Hah? Bibir gue?”
Lisya ikut nyamperin wajah Gee, tanpa basa-basi.
“Anjir... lo abis ciuman ya? Siapa? Siapa bajingan yang bikin lip balm lo ilang separo?”
Gee hampir batuk darah.
“GILA lo semua, enggak lah! Gue—ya ampun, lo mikirnya apa sih!”
Rio nyengir sambil nyeruput kopi kalengnya.
“Fix. Lo abis ngunyah orang.”
Gee melempar tatapan maut ke Rio.
“Lo tuh ya…”
Tapi belum sempat dia bales lebih tajam, ponselnya bergetar. Satu notif masuk dari kontak bernama “🖤D”.
🖤D: “Jangan terlalu lama di situ. Aku bakal jemput kamu bentar lagi.”
Gee langsung membalik HP-nya ke bawah dan pura-pura minum.
“Lo kenapa jadi diem?” tanya Alya.
“Gak. Gak apa-apa. Gue cuma… capek debat.”*
Tapi jelas, pipinya merah. Dan Rio nggak buta.
“Zell, sumpah ya... kalo suatu hari nanti lo nikah sama musuh bebuyutan kita, gue bakal lempar galon pas akad.”
Gee cuma bisa ketawa palsu sambil nyender ke Alya.
“Santai aja, Rio. Gue nggak segila itu…”
Padahal dalam hatinya, suara Druvian masih bergaung:
“Kamu bikin aku gila, Gee.”
---
Setelah cukup basa-basi di tongkrongan, Gee akhirnya pamit lebih dulu. Katanya sih dijemput. Tapi nggak ada yang nyangka siapa yang nungguin di parkiran kampus.
Druvian berdiri menyandar santai ke motornya, helm di tangan, wajahnya seperti biasa: datar tapi bikin lutut lemes.
Begitu melihat Gee, dia cuma ngangguk pelan.
Gee jalan cepat, nunduk, sambil ngedumel pelan.
"Kamu beneran nekat, ya."
Druvian pasangin helm ke kepala Gee, tangannya pelan banget waktu ngeklik pengaitnya.
“Kamu yang bikin aku jadi nekat.”
Suara baritonnya rendah, tapi bikin jantung Gee mau meledak.
Druvian naik duluan. Gee ikut naik di belakang, tapi tangannya ragu buat melingkar.
Druvian sadar.
“Peluk aku.”
“Kita masih di kampus, Dru—”
“Gee.”
Satu kata, tapi dalam. Dan Gee menyerah.
Tangannya melingkar ke pinggang cowok itu, wajahnya nempel di punggung Druvian yang hangat.
"Bawa aku pulang," bisiknya.
"Aku nggak tahan jadi musuhmu di depan orang."
Druvian menyahut pelan, nyaris seperti geraman.
“Tenang. Malam ini kamu milik aku sepenuhnya.”
Dan mesin motor menyala.
---
👀👀👀👀
YOU ARE READING
Gee & Dru ; Between Rules and Ruins
RomanceDi mata kampus, Gizell Damaris dan Druvian Thorne adalah musuh alami, ibarat gula dan garam, selalu adu argumen, selalu berseberangan. Gizell si bawel yang hobi pakai outfit pink dan naik Vespa maticnya, selalu jadi pusat perhatian karena tingkahnya...
⚖️ 08; HUKUM VS FISIP
Start from the beginning
