"Kenapa sih? Perempuan nggak boleh pulang malam sendiri? Emangnya selalu harus dilindungin gitu?" tanyaku dengan nada ketus.
Roman tidak menjawab, ia menatapku dengan dua alis terangkat. Aku melanjutkan, nadaku mulai meninggi. "Terus kalau sama lo aman gitu? Kita juga baru kenal, Man. Nggak ada yang menjamin juga. Gue nggak selemah itu."
Pria itu mengangguk, ia terlihat tetap tenang dan aku malah jengkel melihatnya. "Kalau gue macem-macem, lo kan punya self defense kit. Lo hajar gue aja, Kak. Seenggaknya lo tahu identitas gue. Gue bukan stranger."
Kalimatnya terdengar konyol, tapi entah kenapa terasa masuk akal. Aku justru makin kesal. Rasanya seperti terjebak antara logika dan prinsip.
"Gue nggak takut, Roman. Kenapa lo khawatir? Karena pakaian gue?" tanyaku sambil menatap blus putih yang kupakai dan rok selutut yang.
Pakaian aku pilih awalnya karena senang bisa bersama Ian, namun berakhir ia komentari di perjalanan pulang dari rumah Bu Ina tadi.
Ian bilang kalau ia tidak menyukai kalau aku menggunakan rok, ia bilang tubuhku ini miliknya. Bagi pria itu aku berpakaian seperti sama saja seperti menjual murah tubuhku. Rasa amarah mengingat perkataanya tadi semakin membuat darahku mendidih.
"Atau... cara lo ngelihat perempuan yang bikin lo khawatir? Menurut lo perempuan tuh sumber fitnah? Sampai-sampai cowok nggak bisa jaga nafsunya? Atau... justru cara pandang laki-laki yang bikin perempuan terus disalahin?"
Aku sadar, suaraku mulai bergetar. Mungkin aku kelelahan, mungkin aku frustrasi, atau mungkin karena semua ini terasa terlalu akrab dengan luka-lukaku yang dulu.
Tapi Roman tidak marah. Tidak seperti Ian yang selalu defensif ketika aku menyentil ego laki-lakinya. Roman hanya menghela napas, lalu berkata pelan, "Nggak ada yang salah sama pakaian lo, Kak. Today you looks hella beautiful, and forever like that."
Aku tertegun.
"Gue ngerti kok, kenapa lo jadi kayak gini," ujarnya sambil melangkah mendekat, melepas jaket hitam yang awalnya menutupi kemeja cokelatnya, memakaikannya ke bahuku. "Lo bukannya marah ke gue, lo lagi lindungin diri lo sendiri. That's okay. Gue nggak pernah ngeliat lo lemah."
Kalimatnya membuatku terdiam, aku terpaku menatapnya yang lebih tinggi dariku. Untuk pertama kalinya malam ini, rasanya suara di kepalaku berhenti berisik meneriakkan luka. Ia melanjutkan,
"Yaudah. Lo pesen ojek online, ya. Nanti gue ikutin dari belakang. Is that fine?"
Aku menganga, terkejut dengan pikirannya. Buyar sudah kekagumanku dengan ide konyolnya itu. "Hah? Itu buang-buang energi, Man."
Roman menggeleng cepat. "Pesan aja sekarang."
Aku terdiam, sudah lelah berdebat.
"Kenapa? Batre HP lo abis? Nih, pake punya gue," katanya sambil menyodorkan ponsel. "Nggak usah siapin cash. Ada saldonya."
✷✷✷
Jadilah aku akhirnya pulang naik ojek online, dibonceng oleh pengendara yang bahkan tidak memakai jaket resmi perusahaan. Di punggungku, ada jaket hitam milik Roman yang ia paksa aku kenakan, dan di kepalaku helm yang ia pakai sebelumnya. Rasanya konyol sekali, aku seperti anak kecil yang dikhawatirkan ayahnya saat mau pergi main ke luar rumah. Padahal, jelas-jelas aku yang lebih tua dari dia.
Sebelum kami berangkat tadi, aku sempat melirik layar dan sedikit terkejut melihat tarifnya. Sudah lewat pukul sebelas malam dan jaraknya juga tidak dekat jadi tentu saja harganya mahal. Dalam hati aku menyesali keputusan untuk pulang malam dan menolak jemputan siapa pun.
YOU ARE READING
In The Spaces We Shared
ChickLitI write this story special for @Sylphirene In the bustling heart of Jakarta, Gabi, a final-year university student known for her sharp wit and quiet resilience, finds herself tangled in a web of emotional turbulence. Caught in an unsteady relationsh...
16. If only Ian had looked at me the way Roman did tonight
Start from the beginning
