Aku tahu, ini bukan hanya tentang hari ini. Aku tahu betul bahwa Ian tidak ingin benar-benar tahu bagaimana kabarku, ia hanya ingin memastikan aku masih bisa mengisi kekosongannya. Menjadi tempat pelampiasan, tempat pulang, tanpa ia benar-benar pulang.
Aku mengetik balasan singkat.
| Gabriella:
Aku masih bareng anak-anak, pulang sendiri aja.
| Ian my love:
Oh, ywdh.
Aku hanya melihat sekilas, lalu mematikan layar ponselku. Rasanya malas. Aku lebih rela bayar ongkos lebih mahal daripada harus melihat wajahnya lagi malam ini.
Setelah semuanya terasa cukup, Bang Kais berdiri dari duduknya, "Udah, yuk kita pulang. Istirahat, besok lanjut lagi kalau perlu." ujarnya, aku bisa mendengar nada lelah dari caranya berbicara dan raut wajahnya.
Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku, baru sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Pundakku rasanya mulai berat, tubuhku lengket karena gerah, dan kepalaku sedikit pening. Aku akhirnya bangun dan membantu untuk membereskan peralatan.
Hardin membantuku merapikan kursi dan backdrop. "Love, lo udah kayak zombie, sumpah. Tapi tetep glowing. How?!" goda Hardin sambil menepuk lenganku pelan, itu tidak membuatku tersinggung sama sekali karena memang begitu adanya.
Aku tertawa lemas. "Ini mah minyak di muka udah kayak kilang minyak."
Kami terkekeh dengan candaan konyol ini, mencoba membunuh lelah dengan tawa. Aku senang sekali bisa kenal dengan Hardin, walaupun ia berbeda dengan pria kebanyakan, banyak yang memandangnya buruk, namun ia lebih baik. Aku bisa merasa aman dan nyaman begitu mudah, bahkan kami sering berburu diskon kosmetik bersama Mima di tanggal kembar.
Di sela-sela itu, Bang Kais mendekat dan berkata pelan, "Nanti kalau ada waktu, kita jenguk ibunya Mima, ya. Kasihan dia masih ngurusin sendirian."
Kami semua mengangguk setuju. "Siap, Bang," jawab Roman sambil menutup laptopnya.
Aku mengeluarkan ponsel dari tas, bersiap memesan ojek online. Tapi sebelum jempolku menyentuh layar, aku mendengar suara Roman memanggilku.
"Kak."
Aku tahu persis nada itu. Aku sudah tahu dia akan menawarkan untuk mengantarku pulang.
"Gue anter, ya. Udah malem, bahaya," katanya tanpa basa-basi.
Begitulah Roman selama aku mengenalnya, selalu berbicara tepat sasaran dan tanpa ragu mengutarakan. Aku menggeleng. "Kan gue udah bilang kalau gue punya pacar. Nggak pantes, man."
Semuak-muaknya aku dengan kekasihku sendiri, ia tetaplah orang yang aku cintai. Ian lebih datang lebih dahulu daripada Roman, aku tidak mau melakukan perselingkuhan kecil dengan terlalu banyak membuka diri kepada lelaki lain tanpa sepengetahuannya.
Aku harap Ian juga melakukan hal yang sama.
Namun sepertinya aku salah, Roman tak gentar. "Yaudah, gue temenin lo nungguin pacar lo jemput, ya, Kak."
Aku mendesah sebal, menggaruk dahiku yang sebenarnya tidak gatal sama sekali, "Gue nggak dijemput malam ini, lagi nggak mood ketemu dia."
Ada keheningan singkat, aku bisa melihat mata pria itu mengobservasiku. Aku langsung menyesal dan bergerak tidak nyaman. Perasaan malu muncul karena aku terlalu banyak bicara. Terlalu jujur tentang apa yang harusnya kusimpan.
"See? Gue anterin lo, Kak. Udah, nggak usah banyak debat. Lo capek, bahaya pulang sendirian."
Karena aku lelah, aku mulai agak emosi. Kenapa dia terdengar seperti ingin mendominasiku? Memerintahku seperti tidak ada ruang untukku menolak, memaksaku untuk menurut. Persis apa yang Ian dan Bapak lakukan.
YOU ARE READING
In The Spaces We Shared
ChickLitI write this story special for @Sylphirene In the bustling heart of Jakarta, Gabi, a final-year university student known for her sharp wit and quiet resilience, finds herself tangled in a web of emotional turbulence. Caught in an unsteady relationsh...
16. If only Ian had looked at me the way Roman did tonight
Start from the beginning
