⚠️obsession ⚠️

Start from the beginning
                                        

Eiser duduk terpaku, menyesali semua yang terjadi, berjanji dalam hati untuk memperbaiki keadaan perlahan-lahan.

"Semoga dia bisa tenang dan bisa bicara," gumam Mama lirih sambil mengusap pintu kamar Megan.

Hari itu berjalan berat, penuh keheningan yang dipenuhi rasa cemas dan penyesalan. Namun, Mama tahu waktu dan kesabaranlah yang akan menyembuhkan luka Megan.

Setelah sarapan selesai, suasana di meja makan masih terasa agak sunyi. Megan masih memilih untuk menjauh, sementara Mama, Papa, dan Regina mencoba tetap tenang meski hati mereka berat.

Eiser bangkit dan mulai membersihkan piring-piring kotor. Gerakannya pelan dan penuh perhatian, seolah ingin menebus kesalahan dengan sikapnya yang sederhana itu.

Saat mencuci piring, pikirannya berputar, memikirkan cara untuk memperbaiki hubungan dengan Megan. Ia tahu butuh waktu dan kesabaran, tapi ia bertekad untuk tidak menyerah.

Suara air mengalir dari keran menjadi satu-satunya irama yang mengisi ruang makan itu, menandai momen hening penuh penyesalan dan harapan.

Eiser menyelesaikan mencuci piring dengan gerakan hati-hati, lalu mengelap tangannya dengan handuk dapur. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum kembali ke ruang makan.

Di sana, Mama sedang menyiapkan minuman hangat untuk semuanya, sementara Papa dan Regina sibuk mencoba mengalihkan pembicaraan agar suasana tidak semakin tegang. Tapi Eiser tahu, masalahnya belum selesai.

Ia melangkah perlahan ke arah kursi Megan, menatap kursi yang kosong dengan rasa rindu dan penyesalan. Ia ingin sekali berbicara, menjelaskan, meminta maaf secara langsung.

Namun, saat itu Megan masih menutup diri, mengunci dirinya dalam kamar, membiarkan emosi dan luka itu bergejolak di dalam hatinya.

Eiser pun memilih untuk sabar, memberi ruang tapi juga berjanji dalam hati untuk terus berusaha membangun kepercayaan dan cinta yang sejati antara mereka.

Dia tahu, cinta tidak selalu mudah, tapi ia percaya bahwa dengan waktu dan kesungguhan, Megan akan membuka hati lagi untuknya.

Pukul 10 pagi, Megan akhirnya keluar dari kamar dengan wajah yang masih mengerut, menunjukkan kemarahan yang belum mereda. Namun, langkahnya terasa berat, seolah tenaga yang tersisa habis setelah malam penuh emosi dan gairah yang tanpa ia sadari membakar seluruh tubuhnya.

Perutnya bergemuruh, rasa lapar yang mendalam menggigit setiap sudut pikirannya. Ia berjalan dengan sedikit terhuyung menuju dapur, berharap makanan bisa sedikit meredakan kebingungan dan kekesalan di hatinya.

Meski marah, tubuhnya lelah dan membutuhkan energi, membuat Megan tak kuasa menahan rasa lapar yang menyiksa. Dia duduk di meja makan dengan pandangan kosong, menanti tanpa kata, menunggu hidangan yang dapat menenangkan badai yang bergejolak di dalam dirinya.

Eiser berdiri di belakang Megan, suaranya pelan tapi penuh penyesalan, "Aku minta maaf ya?"

Megan hanya diam, terus mengunyah makanannya tanpa menatap ke arah Eiser.

"Dasar brengsek!" gumam Megan dengan kesal yang masih membara di hatinya.

Eiser menghela napas, mencoba membela diri, "Benar, kamu yang mendatangi aku di ruang tamu. Bukan aku yang memaksa kamu, tapi kamu yang datang ke aku."

Megan berhenti mengunyah, tatapannya kosong sejenak, lalu ingat kembali kilas balik kejadian malam itu. Ia melihat dirinya berjalan dengan langkah mantap mendekati Eiser, mengaku dengan suara lirih, "Aku horny," lalu tanpa ragu mencium bibir Eiser dengan penuh kemauan sendiri.

⚠️Unexpected Love 21+⚠️Where stories live. Discover now