Megan, gadis cantik dan kaya raya, dijodohkan dengan Eiser-pria sederhana lulusan S2 arsitektur yang kini bekerja sebagai pekerja bangunan. Awalnya, Megan menolak keras pernikahan itu. Ia bersikap dingin, kasar, dan menjaga jarak dari suaminya. Namu...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Keesokan harinya, Megan terbangun dengan wajah penuh keterkejutan-sekaget-kagetnya. Matanya membelalak saat menyadari tubuhnya telanjang tanpa sehelai benang pun, sementara Eiser hanya mengenakan celana dalam saja, tertidur di sampingnya.
Dengan cepat, Megan melompat dari kasur, menarik selimut untuk menutupi dirinya. Jantungnya berdegup kencang, campur aduk antara marah, malu, dan bingung. Dalam kemarahannya yang meledak-ledak, Megan memukul Eiser dengan keras hingga pria itu terbangun kaget.
"Kenapa bisa kita tidur satu kamar dalam keadaan seperti ini?!" Megan berteriak dengan amarah yang sulit dibendung.
Bra dan celana dalamnya berserakan di sudut ruangan, seolah jadi saksi bisu malam yang tak ia inginkan itu. Megan menangis tersedu-sedu, merasa dikhianati dan bingung atas perasaan yang bertabrakan dalam dirinya.
Eiser mencoba menenangkan, meraih tangan Megan dengan lembut, tapi usahanya itu malah berujung tamparan keras dari Megan. Ia merasa sakit hati dan bingung.
"Hei, hei, tenang ya? Jangan nangis, sayang," ucap Eiser sambil mencoba merangkul Megan dengan lembut.
Tapi Megan langsung menjauh, wajahnya berubah jijik. Ia menatap Eiser dengan tatapan penuh kemarahan dan kecewa.
"Brengsek!" ketus Megan, sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing, seperti habis minum alkohol terlalu banyak.
"Kamu sendiri yang datang padaku malam tadi. Kamu yang dekati aku, bilang kalau kamu horny," Eiser mencoba membela diri dengan nada setengah bercanda, tapi penuh harap.
"Gak! Aku gak pernah bilang gitu, brengsek!" Megan kesal, melemparkan beberapa barang ke arah Eiser.
"Kamu bilang gitu, sayang. Kamu horny, lalu cipok aku!" Eiser berusaha menghindar dari lemparan barang sambil tetap tersenyum nakal, mencoba mencairkan suasana.
Megan hanya menggeleng, wajahnya campur aduk antara marah dan bingung.
Megan terisak, air matanya mengalir deras. "Jangan panggil aku sayang! Aku gak sudi," ketusnya dengan suara parau, penuh amarah dan sakit hati. Ia merasa seluruh kehormatannya yang dijaga selama 24 tahun tiba-tiba tercabik-cabik oleh Eiser-pria asing yang baginya bukan siapa-siapa, meski sebenarnya suaminya sendiri.
Eiser terpaku, menatap Megan dengan pandangan penuh penyesalan. Ia tahu, malam itu bukan hanya tentang fisik, tapi juga soal kepercayaan dan hati yang harus ia raih kembali, perlahan.
Megan menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan, tapi air matanya terus mengalir tanpa bisa dihentikan.
"Maaf... aku gak bermaksud buat kamu merasa seperti itu," suara Eiser lirih, tulus.
Megan hanya menggeleng, masih terombang-ambing antara kemarahan dan perasaan yang bertentangan. Ia belum siap, tapi entah mengapa hatinya mulai sedikit melembut, walau ia sendiri belum menyadarinya sepenuhnya.