"Brengsek!" ketus Megan dengan suara tajam, sambil mengumpulkan bra dan celana dalamnya yang berserakan di lantai. Tubuhnya yang masih telanjang ia tutupi dengan selimut tebal, lalu dengan langkah cepat dan dingin, ia keluar dari kamar tamu.
Megan menapaki tangga menuju kamarnya di lantai atas, hati dipenuhi campuran amarah dan kebingungan.
Di ruang tamu, Mama, Papa, dan Regina sudah bangun lebih awal. Mereka melihat Megan melangkah keluar dari kamar tamu dengan selimut tebal melilit tubuhnya, air mata Regina mengalir deras saat ia memandang ke belakang, tahu bahwa malam itu ada sesuatu yang berubah.
Mama menarik napas panjang, menatap Papa dengan tatapan prihatin. "Malam ini, semuanya berubah," gumamnya pelan.
Papa mengangguk, matanya menatap pintu kamar Megan yang tertutup rapat. Di balik pintu itu, Megan berjuang dengan perasaannya sendiri-antara benci dan keinginan, antara marah dan rindu yang tak terucapkan.
Di dalam kamar tamu, Eiser menghela napas kasar, dadanya naik turun seiring beban yang menghimpit pikirannya. Ia tahu seharusnya tidak melakukan itu saat Megan masih setengah sadar, saat ia tak bisa memberi izin atau melawan.
Rasa bersalah mencengkeram hatinya, namun di sisi lain ada hasrat yang sulit ditahan. Ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, mencoba mencari jawaban atas kekacauan yang baru saja terjadi.
"Maafkan aku, Megan," bisiknya lirih, suara penuh penyesalan. "Aku tak bermaksud menyakitimu... Aku cuma terbawa suasana."
Namun kata-kata itu terasa hampa, karena kini ia harus menghadapi konsekuensi dari malam yang tak terlupakan itu - dan Megan yang kini penuh kebingungan dan luka dalam hatinya sendiri.
Pukul 7 pagi, suasana di ruang makan terasa hening. Mama, Papa, dan Regina sudah berkumpul, wajah mereka tampak lelah tapi penuh kekhawatiran. Eiser baru saja selesai mandi dan masuk ke ruangan itu, tapi matanya langsung mencari sosok Megan yang tak tampak di sana. Kekosongan itu menambah rasa bersalah yang makin dalam di dadanya.
"Duduklah, nak. Biar mama jemput Megan," ucap Mama lembut sambil memberi senyum penuh pengertian.
Eiser mengangguk pelan dan duduk di meja makan, mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh. Ia tahu hari ini harus jadi hari untuk memperbaiki semuanya, walau sulit.
Mama beranjak dari meja makan dan melangkah menuju kamar Megan. Sesampainya di depan pintu yang terkunci rapat, Mama mengetuk perlahan.
"Sayang, ini Mama..." suara Mama lembut dari balik pintu.
Pintu akhirnya terbuka, dan Megan muncul dengan rambut basah yang masih tergulung handuk kecil. Wajahnya terlihat kusut, masih jelas sisa bad mood karena kejadian semalam.
"Mau sarapan, yuk?" ajak Mama dengan nada penuh kasih.
"Tidak, aku mau di kamar saja," jawab Megan singkat, nada suaranya dingin dan cuek. Ia belum siap menghadapi siapapun, apalagi Eiser.
"Ayo, sayang. Papa, Regina, dan Eiser sudah menunggumu," rayu Mama dengan lembut.
Megan mengerutkan alis, menolak. "Gak mau, Ma. Jangan sebut nama pria brengsek itu!" ketusnya dengan suara dingin, lalu menutup pintu dengan kasar.
Walau merasa tak sopan, Megan memilih diam dan tak ingin lagi berdebat dengan Mama. Hatinya masih berat, dan ia butuh waktu sendiri.
Mama berdiri di depan pintu yang tertutup rapat, menarik napas panjang. Ia tahu Megan sedang terluka, tapi ia juga khawatir jika Megan terus mengurung diri.
Di meja makan, Papa dan Regina saling bertukar pandang. Regina meneteskan air mata kecil, merasa bersalah karena puding coklat buatannya membawa konsekuensi yang tak terduga.
YOU ARE READING
⚠️Unexpected Love 21+⚠️
RomanceMegan, gadis cantik dan kaya raya, dijodohkan dengan Eiser-pria sederhana lulusan S2 arsitektur yang kini bekerja sebagai pekerja bangunan. Awalnya, Megan menolak keras pernikahan itu. Ia bersikap dingin, kasar, dan menjaga jarak dari suaminya. Namu...
⚠️obsession ⚠️
Start from the beginning
