Part of You

1K 202 37
                                        

Agih

Sekarang aku sudah resmi menjadi bagian hidup dari orang lain. Orang yang kusebut sebagai istri. Perempuan yang kupilih sendiri. Meski baru lewat Bapak aku menyadari, ternyata aku sangat menyukai berada di dekat Arimbi.

Aku menyukai perubahan demi perubahan yang terjadi padaku. Kalau sebelumnya aku adalah orang yang nggak sabaran, serta menganggap segalanya enteng, kini jadi lebih aware saja.

Dan menghadapi Arimbi yang kadang-kadang galak juga aku harus bisa menahan diri. Menahan emosi. Dari hubunganku dengan Fania aku memahami bahwa lelaki dituntut untuk peka terhadap keinginan perempuan. Apalagi kalau perempuan itu pasangan kita.

Setelah ijab kabul, kami diminta istirahat sebentar. Sebelum dipajang sampai acara selesai. Yaitu sekitar jam sembilan malam. Namun begitu, banyak teman-temanku dari masa sekolah SD sampai ke akademi keperawatan yang sengaja baru muncul pukul sembilan lewat. Mereka menyanderaku. Mengajakku ngobrol sampai jauh malam.

Sewaktu semuanya berhasil kuusir, karena bagaimana pun ini adalah malam pengantinku, waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.

Rumah mertuaku memang masih ramai. Beberapa saudara dan sepupu masih berkeliaran antara ruang tamu, ruang tengah dan dapur. Mondar-mandir sambil membawa piring-piring berisi makanan.

Aku berpapasan dengan seorang bude yng yang kata Arimbi datang dari Lampung. "Mas Agih ndak makan dulu? Ndak laper?"

"Laper sih, Bude. Tapi ini mau liat Arimbi dulu."

"Oh, tadi sudah masuk kamar."

"Iya. " Jawabku sembari mengembangkan senyuman. Tak sabar karena malam ini aku akan bisa memeluk seseorang. Setelah 32 tahun hidupku yang dihabiskan untuk hal-hal yang unfaedah. Sekarang aku punya istri.

Namun, ketika aku masuk ke kamar, kulihat pemandangan yang bikin aku ngenes setengah mati. Ini semua terjadi lantaran teman-temanku yang harus kuusir dulu tadi. Sekarang di atas ranjang ukuran satu yang baru kubeli untuk Arimbi, kulihat istri baruku itu sedang tidur. Seluruh badannya ditutup selimut, AC menyala. Menyisakan kepalanya yang mendongak dan mulutnya yang terbuka.

Kalau begini mau jengkel jadi batal. Kuambil ponsel, dan kuabadikan pose pertama istriku itu. Siapa tahu ini bisa jadi alat tawar-menawar suatu saat nanti.

Setelah puas mengambil beberapa gambar, aku kemudian mendesah. Melihat kembali foto-foto tersebut. Tersenyum miring seorang diri. Sambil dalam hati merasa miris. Sebab yang seharusnya aku bisa tidur sambil ngelonin istri, eh jadinya cuma bisa ngelonin bantal guling doang deh.

***

Kami nggak bisa langsung pergi bulan madu karena aku belum mendapatkan cuti panjang. Maklum, jadi tenaga kesehatan itu harus selalu siaga dalam keadaan apa pun. Rumah sakit tempatku bekerja hanya memberi tiga hari libur.

Tapi untungnya, sewaktu kubujuk Arimbi buat pindah tidur ke hotel, dia mau. Yah, namanya juga usaha buat nyenengin istri. Padahal aku sudah merancang rencana untuk bulan madu itu aku ingin membawa Arimbi ke Magelang. Ke Muntilan atau ke Ketep pass. Bisa juga naik gunung Andong. Sudah lama aku nggak naik gunung lagi dan mendadak sangat ingin melakukannya karena siapa tahu Arimbi juga suka.

Dulu, waktu naik Papandayan sewaktu masih kuliah, aku melihat banyak pasangan suami istri yang hiking bareng gitu. Dan kulihat- lihat, kuamat-amati, kok kayaknya romantis banget gitu.

Keesokan harinya aku terbangun oleh aroma wangi yang segar. Mataku perlahan terbuka dan mendapati hari sudah sangat terang. Kulihat Arimbi dalam balutan atasan baby doll warna biru dan celana pendek warna putih. Rambutnya diikat menjadi buntut kuda. Sedang duduk di depan meja rias.

More Than You Know Where stories live. Discover now