16. Pak Dokter

318 155 1
                                        

Gedung kampus itu terasa asing bagi Kinan. Sudah lebih dari dua bulan ia tak menginjakkan kaki di sana, dan kini langkahnya terasa ragu di antara lorong-lorong fakultas yang ramai oleh mahasiswa lain. Meningat waktu sudah siang, banyak mahasiswa yang keluar untuk beristirahat.

Berangkat dengan naik bus karena motornya hingga kini tak bisa hidup lagi, wajar saja rusak, motor bekas Ibunya itu sudah ada sejak Kinan SD.

Ia mengenakan jaket longgar. Walau perutnya mulai membuncit, ia rela memakai jaket yang cukup tebal itu di siang hari berharap orang-orang hanya menganggapnya kelelahan atau sedang sakit.

Kinan menuju ruang administrasi, menggenggam map berisi formulir cuti akademik yang sudah ditandatangani sebagian dosen. Ia tahu hari ini ia harus menemui Pak Aris, dosen pembimbingnya yang terkenal kaku dan tak kenal kompromi.

Mengingat kuliahnya hanya di bantu dengan beasiswa karena akademiknya. Memuat Kinan harus memutus beasiswa itu karena cuti, mungkin lain waktu, lain kali, atau suatu saat mungkin. Dirinya bisa berkuliah lagi, meski entah bagaimana caranya.

Di luar ruangan, ia menunggu giliran dipanggil. Tak lama, pintu terbuka.

“Kinan Ananta?” suara sekretaris fakultas menyebut namanya.

Ia menunduk, melangkah masuk dengan hati-hati. Pak Aris tengah menatap layar laptopnya, lalu menoleh dengan ekspresi datar.

“Kinan” katanya pendek. “Sudah lama sekali tidak terlihat. Saya bahkan sempat pikir kamu mengundurkan diri”

Kinan menelan ludah. “Saya, minta maaf, Pak. Kondisi saya”

“Saya tahu kamu punya nilai bagus. Tapi absensimu itu, Kinan, jangan seenaknya begitu” Nada Pak Aris tegas, tapi tidak sepenuhnya keras. Ia melirik map di tangan Kinan. “Ini untuk pengajuan cuti?”

Kinan mengangguk pelan. “Saya sedang dalam kondisi kesehatan yang tidak stabil.”

Pak Aris menghela napas. Ia membuka lembaran itu dan membacanya sekilas. Lalu tiba-tiba, ia menatap tajam. “Kamu hamil?”

Kinan langsung menegang. “I-Iya, Pak…”

Tak ada amarah dari Pak Aris, hanya keheningan yang sunyi dan menekan. Mungkin Pak Aris mengira dirinya sudah menikah.

“Baik. Saya akan tanda tangani. Tapi kamu harusnya sudah tau kan ketentuan kampus kita, jika kamu mengambil cuti, beasiswa kamu di cabut. Pastikan komunikasi dengan pihak kampus tetap berjalan. Jangan hilang seperti kemarin"

Kinan mengangguk cepat, hampir gemetar.

Saat ia keluar dari ruangan dengan langkah tergesa dan napas sesak, ia tak sadar seseorang melihatnya dari kejauhan.

Raga, yang sedang menunggu rekannya di fakultas kedokteran untuk menitipkan berkas penelitian kebetulan melihat sosok Kinan keluar dari ruangan dosen dengan langkah terburu-buru.

“Kinan?” panggilnya ragu

Kinan mendongak, terkejut bukan main. “D-dokter?”

Mereka sama-sama terdiam sejenak, lalu Raga melangkah mendekat.

“Kamu darimana?”

“Saya habis ngurus administrasi kampus. Kalo Dokter sendiri? Kenapa bisa di kampus?” jawabnya berusaha tersenyum.

Raga menatapnya, jelas ada banyak pertanyaan di matanya. Tapi ia menahan.

"Saya cuma ngasih berkas penelitian ke teman"

Kinan mengangguk, tak berniat bertanya lebih jauh.

“Mau saya antar pulang?”

"Gak usah Pak–"

Once Again Where stories live. Discover now