Raga menatap pintu yang tertutup rapat, di mana Kinan baru saja keluar dengan terburu-buru. Tubuhnya masih sedikit tertegun, hatinya terasa lebih berat dari yang seharusnya.
Kinan Ananta. Menari-nari di antara ketegangan dan kebingungan.
Dia menghela napas kasar, lalu berdiri dan mulai membereskan alat USG yang baru saja dipakainya. Tangan Raga terlihat sigap, tetapi pikirannya masih jauh, melayang pada kejadian tadi. Bagaimana pasien yang baru pertama kali ditemui itu begitu terburu-buru, seolah ada sesuatu yang mengganggu di dalam dirinya.
Tidak ada konfirmasi lebih lanjut tentang kehamilannya. Bahkan tidak ada pertanyaan yang diajukan.
"Aneh" satu kata yang menggambarkan gadis itu tadi.
Raga meletakkan alat terakhir ke tempatnya. Sesaat ia berdiri dan menatap keluar jendela. Namun, ketenangannya terganggu oleh suara pintu ruangan yang terbuka. Itu Tari, asisten yang seharusnya mendampinginya dalam setiap pemeriksaan, masuk dengan wajah terkejut.
"Dok, saya minta minta maaf. Tadi, ada pasien ya? Saya beneran gak tau dan baru di kasih tau Dokter Shiren di kantin. Bagian resepsionis sempet hubungin saya kalo ada pasien baru, saya ngasih tau kalo Dokter ada di jam empat, tapi saya beneran gak tahu kalo pasiennya masuk lebih awal." Tari menjelaskannya dengan tergagap, ketidaknyamanannya terlihat disana.
"Terus kenapa kamu gak ngasih tau saya dulu?" Tegas Raga.
"S-saya lupa" Tari melupakan komunikasinya dengan Raga dan malah melanjutkan acara makannya di kantin sebelum akhirnya Shiren datang dan memberi tahu bahwa ada pasien baru sejak tadi.
Raga mengangkat tangan, memberi isyarat agar Tari berhenti bicara. Ia memijat pelipisnya, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara.
"Gakpapa, lain kali kamu harus lebih tanggap, saya sudah bilang berapa kali jangan ada pasien masuk saat jam istirahat. Kamu tahu betul jadwal kita"
Tari terdiam, menunduk, menyadari bahwa ia memang telah melakukan kesalahan.
"Saya, Saya gak akan mengulangi ini lagi, Dok saya minta maaf"
Raga menghela napas lagi lalu mengangguk, melangkah mendekat ke meja, menata beberapa berkas medis yang berserakan.
"Jangan hanya janji, Tari. Kamu itu harus lebih sigap dan terorganisir. Kita kerja di rumah sakit, bukan tempat main main. Kedislipinan itu nomor satu".
Tari mengangguk, Raga bukan tipe orang yang banyak bicara. Raga jarang sekali berbicara seperti ini, dan meski ia tahu bahwa teguran itu perlu, tetap saja ada rasa canggung setelahnya.
....
Keesokan paginya Kinan memulai harinya seperti biasa. Setelah mandi dan sarapan seadanya, ia mengenakan pakaian sederhana dan pergi menuju kampus. Di jalanan yang ramai, pikirannya tetap tidak tenang. Semalam ia tidak bisa tidur nyenyak, mengingat akan tanggung jawab yang semakin berat.
Di kampus, Kinan berjalan cepat, berusaha menanggalkan semua kekhawatiran. Bahkan saat sampai di kelas, dia duduk di pojok ruangan, berusaha fokus meski pikirannya tetap melayang.
Tak lama seorang laki laki datang lalu duduk tepat di sampingnya. Itu Julian.
"Kinan, lo kenapa? Sakit?" Julian menatap Kinan dengan serius, seolah mencoba menembus kebisuan yang selalu di tunjukkan akhir-akhir ini. Kinan tersenyum kecil, memalingkan pandangan ke luar jendela seolah matanya tak mau di baca.
“Gak apa-apa. Cuma capek aja. Banyak yang dipikirin" jawab Kinan ringan, meski dalam hati ia tahu bahwa Julian tidak akan begitu saja berhenti menanyakan hal itu.
“Kalau ada masalah, ngomong aja. Gue bakal dengerin” Julian meletakkan tangan di atas meja, memperlihatkan keprihatinan yang selalu ada di matanya.
Kinan terdiam, mencoba menahan rasa yang mulai menguasai dada, kemudian mengangguk "Iya Jul, gue cuma gak mau jadi beban lo"
YOU ARE READING
Once Again
RomanceKejadian di satu malam mengubah segalanya dalam hidup Kinan, hingga ia harus menerima kehamilannya yang di luar rencana. Namun dunia seakan tak berpihak, masalah baru justru datang ketika ia bertemu dengan Raga, Dokter kandungannya. WARNING⚠️ Cer...
