Langit sore menyinari halaman sekolah yang mulai lengang, suasana perlahan menjadi tenang seiring murid-murid meninggalkan kelasnya. Lonceng tanda pulang sudah lama berbunyi, tapi di ruang teater sisi selatan sekolah beberapa siswa masih bertahan.
Ruangannya tidak luas, dinding kayunya sudah kusam. Rak kostum di sisi kanan penuh pakaian lama, panggung kecil di depan ruangan tampak berdebu. Belasan siswa duduk melingkar di lantai, ada yang masih pakai seragam, ada juga yang sudah berganti pakaian. Suara tawa dan obrolan ringan terdengar di antara mereka.
"Teman-teman, diam dulu sebentar!" Suara Kak Alethea, ketua klub drama, memecah keributan. Ia berdiri sambil memegang map lusuh berwarna merah bata berisi naskah yang selama berminggu-minggu mereka perjuangkan agar disetujui pihak sekolah.
"Kita akan tampil dengan judul Legenda Sang Jenderal!" Sorakan dan tepuk tangan langsung terdengar. Beberapa siswa bangkit setengah berdiri, yang lain bersiul riang. Ruangan mendadak penuh semangat, sementara Morana hanya tersenyum tipis dari tempatnya.
Ia sudah membaca sinopsisnya. Legenda Sang Jenderal adalah kisah tentang seorang pemuda yang diangkat menjadi pemimpin pasukan pada usia tujuh belas tahun, namanya tercatat dalam sejarah bukan karena jumlah musuh yang ia kalahkan, melainkan karena sumpahnya yang tidak pernah berubah, menjaga perbatasan sampai mati.
"Karena ini peran utama, kita akan pilih pemerannya lewat pemungutan suara," kata Kak Alethea sambil membuka kotak kecil dari kardus cokelat. "Satu orang, satu kertas. Tulis nama yang menurut kalian paling cocok memerankan Aaron. Tapi ingat, kostum disiapkan sendiri."
Kertas dan pulpen dibagikan. Ada yang langsung menulis dengan yakin, ada juga yang lama bengong memikirkan nama. Morana hanya menatap kertas kosong di tangannya sebelum akhirnya menggigit bibir dan menulis satu nama tanpa banyak berharap.
Kertas dilipat dan dimasukkan ke dalam kotak. Kak Alethea lalu mengaduk isinya dan mulai membaca satu per satu. Beberapa nama disebut, disambut tawa dan komentar kecil, tapi ada satu nama yang semakin sering terdengar.
"Morana," ucap Kak Alethea untuk ketiga kalinya. Ruangan langsung hening, wajah-wajah yang semula santai mulai berubah heran.
"Itu peran laki-laki, kan?" bisik salah satu siswa, disambung suara lain, "Serius? Perempuan jadi jenderal?"
Morana menunduk mendengar komentar itu, kedua tangannya mengepal di pangkuan. Namun Kak Alethea tetap dengan keputusannya. "Ini hasil suara. Kita sepakat dari awal. Kalau Morana bersedia, dia yang main."
Morana hanya mengangguk pelan. Ia bahkan tidak tahu kenapa dirinya menyetujui. Tapi naskah itu terasa familiar, seakan ia pernah melihatnya.
* * *
Langit sudah gelap ketika latihan berakhir. Cahaya oranye di ufuk barat perlahan menghilang, digantikan gerimis tipis yang membasahi jalan setapak. Morana berjalan menyusuri gang kecil menuju rumah, jalur pintas yang hampir setiap hari ia lewati.
Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda.
Di tengah gang berdiri sebuah toko yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Bangunannya tua, dindingnya kusam. Dari jendela kaca yang buram, tampak berbagai benda seperti patung, jam tua, kursi goyang, hingga lukisan yang gambarnya tidak jelas.
Di atas pintu tergantung lampu kecil yang bergoyang pelan diterpa angin. Di kaca jendela hanya ada satu kata dengan huruf pudar, Reliksa.
Morana melangkah mendekat. Ia menyentuh gagang pintu kayu, dan begitu dibuka, lonceng kecil berbunyi pelan. Bau kayu tua, logam berkarat, dan kertas lama langsung menyambutnya. Di balik etalase kaca berdiri seorang pemuda. Pakaiannya sederhana, rambutnya rapi, sorot matanya tajam, meski tidak terlihat menakutkan.
"Ada yang bisa aku bantu?" tanyanya dengan suara rendah dan tenang.
Morana mengangkat naskah di tangannya, sedikit gugup. "Aku sedang mencari referensi kostum perang zaman dulu. Untuk drama sekolah."
Pemuda itu tersenyum tipis, bukannya menjawab malah berbalik membuka laci kecil di belakang etalase. Dari sana ia mengeluarkan sebuah benda. Cermin bundar seukuran telapak tangan, terbuat dari tembaga. Permukaannya memantulkan cahaya redup, sementara bagian belakangnya diukir dua ikan koi yang saling melingkar.
"Cermin ini berasal dari sekitar tiga ribu tahun lalu," katanya sambil menaruh benda itu di atas etalase. "Pada masa itu, air adalah satu-satunya cara manusia bisa melihat bayangannya. Jadi cermin logam seperti ini dianggap mewah. Permukaannya dipoles dengan teliti, dan ukirannya selalu punya arti."
Morana menyentuh logam itu hati-hati, merasakan dinginnya menempel di ujung jarinya.
"Ikan koi melambangkan harapan dan keberuntungan," lanjut pemuda itu. "Konon, cermin ini pernah dimiliki oleh seorang jenderal muda. Ia membawanya ke medan perang sebagai pengingat akan rumah dan sumpah yang ia pegang."
"Berapa harganya?" Morana akhirnya bertanya, walau setengah ragu.
Pemuda itu hanya kembali tersenyum, lalu menjawab, "Tidak perlu membayar. Cermin itu sudah memilihmu."
Ia mendekat sedikit, menaruh telunjuk di bibirnya. "Orang zaman dulu percaya, cermin bisa menjadi media. Suara dapat menembus ruang dan waktu lewat pantulannya."
"Jadi... setelah pukul sebelas tiga puluh malam, berhati-hatilah saat berbicara."
Morana ingin bertanya lebih jauh, tetapi sebelum sempat bicara, pemuda itu sudah berjalan ke balik tirai beludru. Setelah itu, ia tidak terlihat lagi.
* * *
Malam itu, Morana duduk di meja belajarnya. Dari jendela, cahaya bulan masuk pelan ke dalam kamar. Naskah Legenda Sang Jenderal terbuka di samping cermin bundar yang ia bawa pulang dari toko sore tadi.
Ia sudah mencoba membaca beberapa halaman, tapi pikirannya tidak tenang. Pada akhirnya, matanya kembali jatuh pada cermin itu. Tangannya tergerak menyentuh permukaan logam yang dingin, seolah benda itu memanggilnya.
"Kalau aku bisa bertemu langsung dengannya," gumam Morana lirih, "Mungkin aku akan tahu bagaimana cara memerankan tokohnya."
Jam dinding berdetak pelan. Pukul sebelas tiga puluh malam.
Begitu kata-kata itu keluar, cahaya tiba-tiba muncul dari dalam cermin. Bukan dari lampu kamar. Bukan pula pantulan bayangannya sendiri. Itu datang dari sisi lain permukaan logam.
Matanya membelalak. Di sana tampak medan perang luas, pasukan bergerak cepat sementara debu memenuhi udara. Seorang pemuda menunggang kuda di barisan depan, pedangnya terangkat tinggi, wajahnya keras dan serius. Suaranya memang tak terdengar, tapi gerakannya jelas menunjukkan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Itu… bukan mimpi. Bukan juga ilusi.
Itu Aaron.
Lalu, sejak saat itu semuanya benar-benar dimulai.
* * *
Dibuat : 13 April 2025
Sudah direvisi 06 September 2025
Haii, ini prolognya, semoga suka.
Cerita ini terinspirasi dari anime, aku lupa judulnya, di bagian cermin, jenderalnya dan beberapa scene yang terinspirasi. Tokoh dan alur romance yang ditambahkan jelas dibuat berbeda.
Langsung lanjut chapter
berikutnya ya💅🏻
YOU ARE READING
The Threads of Destiny
Fantasy[Story 3 - PUBLISH ULANG] Sebuah cermin tembaga tua berhias ukiran ikan di bingkainya bukan sekadar benda antik. Ia menyimpan rahasia yang menjadi penghubung antara dua dunia. Masa kini, dan masa lalu yang menunggu untuk diungkapkan kembali. Dari pa...
