• Prolog •

15 1 0
                                        

Matahari sudah sepenuhnya tenggelam saat gadis dengan setelan hitam putih formal itu turun dari bus di halte yang cukup sepi. Ia melangkahkan kaki ke arah gang menuju rumahnya sambil menatap map berwarna cokelat di tangannya dengan penuh rasa kecewa.

Sudah satu tahun sejak Azeline Jennara lulus dari SMA, seharusnya ia sudah bekerja dan memiliki penghasilan yang bisa sedikit membantu keluarganya. Sayangnya, meski sudah berkali-kali melamar pekerjaan di berbagai tempat, Jenna selalu di tolak dengan alasan yang sama hingga membuatnya merasa muak.

"Semua yang tertera di berkas lamaran kamu memang bagus, tapi sayangnya, saya butuh seseorang yang memiliki penampilan menarik untuk menempati posisi ini."

Kalimat itu selalu menjadi penutup yang membuat Jenna memilih untuk mengundurkan diri setiap mengikuti wawancara kerja. Bukannya merasa tidak percaya diri, ia hanya muak dengan pekerjaan yang mengutamakan kesempurnaan fisik alih-alih kemampuan sebagai syarat untuk diterima.

"Kerjaan sekarang tuh kenapa syaratnya harus good looking sih? Kayak mau jadi model aja!" Gerutu Jenna sambil menendang kerikil di jalan yang ia lewati.

Saat sampai depan rumah, Jenna berniat untuk langsung masuk ke dalam lalu istirahat, tapi kakinya justru berhenti di sebelah pagar kayu yang terbuka ketika melihat ayahnya duduk di kursi teras bersama seorang lelaki yang usianya jauh lebih muda.

Kedatangan Jenna langsung disadari oleh ayahnya, membuat pria berusia empat puluh tahun itu memanggil anaknya dengan suara yang cukup keras, "Jenna! Kamu ngapain berdiri di situ? Sini masuk!"

Lelaki di sebelah ayah Jenna ikut menoleh, lalu tersenyum tipis sebelum akhirnya mengalihkan tatapan pada pria di sebelahnya. "Suruh istirahat dulu aja Jennanya, Om. Dia baru pulang, takut capek kalau langsung diajak ngobrol."

"Nggak apa-apa, Jaevin. Kalau disuruh istirahat dulu, nanti malah kamu sama orang tua kamu yang capek. Kalian, kan, udah nungguin dari tadi."

Sedangkan Jenna hanya diam menyaksikan pemandangan di depannya. Ia tidak tahu siapa lelaki yang ayahnya panggil dengan nama Jaevin itu, tapi melihat wajahnya membuatnya merasakan perasaan aneh yang terasa tidak asing. Sayangnya, Jenna tidak tahu perasaan apa itu.

"Jenna, ayo masuk!"

Jenna berjalan mengikuti ayahnya yang baru saja masuk ke dalam rumah, melewati Jaevin yang sempat tersenyum padanya saat melewati lelaki itu dan berujung ia abaikan. Namun, lagi-lagi Jenna dibuat kebingungan saat melihat dua orang asing lain—yang sepertinya seumuran dengan ayahnya—sedang duduk di sofa ruang tamu rumahnya.

Ayahnya menyuruh jenna untuk menyalami tangan kedua orang itu sebagai bentuk sopan santun, dan ia pun menurut.

"Ini Jenna, ya? Wah, cantik banget." Wanita berambut panjang dengan dress putih yang terlihat anggun itu memuji Jenna saat gadis itu menyalami tangannya.

"Pantesan Jaevin nggak nolak waktu kita bilang mau jodohin dia," imbuh pria yang memakai kemeja berwarna sama dengan wanita di sebelahnya sambil tertawa pelan.

Setelah menyalami tangan kedua orang itu, Jenna langsung duduk di sebelah ayahnya, berhadapan dengan Jaevin dan dua orang yang sepertinya adalah orang tua lelaki itu.

Karena penasaran, Jenna akhirnya berbisik pada ayahnya untuk bertanya, "Ayah, mereka siapa?"

Mendengar pertanyaan anaknya itu membuat ayah Jenna tersenyum, tapi tidak langsung menjawab.

Suasana terasa sangat menegangkan, Jenna merasa takut saat ayahnya mengalihkan tatapan pada tiga orang di depannya. Dan saat pria itu kembali membuka suara, jantung Jenna seperti berubah menjadi bom yang baru saja meledak.

"Mereka calon mertua dan calon suami kamu, Jen."

✧✧✧


✧✧✧

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Hallow Brooo...
Welcome to my first story!!!
Gimana prolognya?
Kalau suka, jangan lupa pencet bintangnya yaaa

See you and bye-bye 👋

EtherealWhere stories live. Discover now