Bab 7 Kesepakatan Tiga Bulan

31.8K 2.6K 226
                                    


Ekspresi Nawaila malam ini berbanding terbalik dengan senyum yang ia tampilkan sore tadi. Sebagai kakak, Ni'am tahu apa yang membuat Nawaila bersedih. Apa lagi? Tentu saja, Harris yang menggendong wanita lain dan lebih peduli pada Kintan yang menangis seperti orang gila. Setelah mencarikan obat penenang di kotak obat dan memberikan nomer telpon pesantren ke mertua Nawaila, Ni'am memutuskan untuk ke kamar adiknya. Psikis Nawaila pasti drop karena kehadiran Kintan, jadi Ni'am mau memberikan perhatian dengan mengajaknya berbicara. Tapi diurungkan sebab Euis ada di sana bersama Nawaila terlibat percakapan serius. Ni'am tidak sengaja mendengar percakapan Euis dengan Nawaila.
"Sampai-sampai Kak Euis juga memaafkan ketika Ni'am menyebutmu sebagai hama pengganggu atau memandang Kakak dengan sebelah mata?"
Alis Ni'am berkerut, ia tidak habis pikir mengapa Nawaila menyimpulkan bahwa dia hanya memandang Euis dengan sebelah mata.
"Aku memang pantas dipandang sebelah mata." Euis mengeluarkan rokok dari tas, menyalakan satu batang mild dan terlihat menikmati setiap hisapan rokoknya. "Orang selalu bilang, jatuh cinta bisa membuat hatimu mencair dan menghangat. Tapi cinta selalu membuatku berada dalam keterasingan, sendiri dan mati." Ia menghembuskan kepulan asap ke udara. Senyum Euis terlihat menyeramkan. "Seperti asap rokok... kamu tidak akan pernah tahu kemana udara membawanya. Ia membuat dadamu berada dalam kenikmatan yang menyesakkan. Itu terdengar normal ketimbang hidup pura-pura dan kamu sendiri tidak kuasa menaklukkan kesedihan."
Ni'am menatap Euis dalam-dalam dari samping, jika rasa sakit bisa mendefinisikan matanya, cowok itu sudah mengatakan bahwa mata itu berjuta kali tenggelam dalam rasa sakit. Bahkan sakit tidak bisa menyimpulkan apa yang disimpan oleh mata itu.
"Dan Kakak melampiaskan semua pada rokok?"
Euis tertawa, "kenapa? Apa aku terlihat jalang? Maka, kamu tidak perlu kaget ketika abangmu memandangku dengan sebelah mata. Kamu juga seperti dia. Heh, wanita selalu hidup dalam stereotip negatif-apapun yang ialakukan." Euis menghisap rokok dan menikmatinya seolah dengan rokok itu ia bisa membuat dirinya melupakan beban hidup.
"Aku yakin kamu punya alasan untuk itu."
Euis malah terkekeh hingga bahunya bergetar, "kamu ragu menilaiku. Apa rokok bisa menyimpulkan seseorang baik? Koruptor banyak yang tidak merokok. Bukan alasan yang kubutuhkan untuk merokok, tapi tujuan."
"Ya?"
"Rokok selalu membawa sensasi sendiri. Pernahkah kamu tahu rasanya diperkosa oleh ayahmu sendiri? Ditolak pria karena pria itu lebih memilih adik kandungmu? Atau... mencoba hidup baru tapi semua orang menolakmu?" Euis tidak menangis, tapi matanya cukup menjawab bahwa itu benar-benar kisahnya yang menyakitkan. "Sementara kamu tidak bisa melakukan apa-apa. Diperkosa bukan keinginanmu. Ditolak pria juga bukan harapanmu dan kamu hanya punya pilihan dengan hidup baru. Aku tidak menyukai Ni'am. Aku tidak menyukai kakakmu. Aku mendekatinya karena aku suka melihat ekspresinya yang lugu, pengecut dan bodoh. Itu mengingatkanku pada diriku sendiri beberapa tahun yang lalu." Akhirnya, ia jujur.
Jadi, Euis tidak menyukainya? Ni'am menginjak lantai dengan keras, seolah gravitasi telah menariknya ke dalam inti bumi.
"Jadi kamu mendekati Mama hanya untuk hal itu?"
"Jangan terlalu serius, Nawaila. Aku tahu diri. Tidak perawan, perokok, bukan dari keluarga baik-baik, juga orang yang sudah memutuskan ikatan dengan keluarga tidak mungkin mendapat keluarga baru sebaik keluargamu. Aku selalu iri denganmu yang hidup dikelilingi orang yang benar-benar mencintaimu. Keluarga yang sempurna. Itu adalah mimpi yang benar-benar mimpi bagiku."
Seberat itu hidup Euis.
"Karenanya, syukuri kehadiran mereka sebelum kamu kehilangan mereka. Aku tahu Harris sangat mencintaimu dan perhatiannya pada Kintan hanya sebatas nilai humanisme-mengingat kejiwaan Kintan yang tidak stabil. Buka hatimu. Kamu boleh mengklaimnya sebagai milikmu, tapi cobalah untuk tidak mengekangnya. Kesetiaan tidak harus membuat seseorang bersikap kaku dan tidak mengenal belas kasihan." Euis mematikan batang rokok dengan menginjaknya di lantai. "Maaf aku sudah merokok di depanmu. Hahaa, kamu membuatku tertekan. Benar-benar tertekan."
Ni'am menghembuskan napas. Tidak bisa berkomentar apapun.
"Seseorang pernah berkata padaku, ingatlah Allah di waktu lapang dan sempit sebab Dia adalah sebaik-baiknya tempat kembali. Dan meskipun aku belum menikah, aku ingin berpesan padamu. Jika pernikahan membuat hatimu terikat pda satu pria, maka kamu harus mampu membuatnya terikat padamu. Mengikat berbeda dengan mengekang." Euis berdiri, Ni'am langsung pergi dari sana agar Euis tidak tahu bahwa ia baru saja menguping.
"Ni'am..." Sebuah suara memanggilnya ketika Ni'am beranjak.
"Ya, Ma?"
"Papamu ingin bicara." Asha kembali masuk dalam kamar setelah memberi kode pada Ni'am untuk mengikutinya.

Sedang Malaikat Pun CemburuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang