Bab 1 Aktivis Batu Akik

103K 4.1K 368
                                    


Ni'am baru saja menapakkan kaki di ruang sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa, belum sempat ia meletakkan tas besar yang memberati punggung, plus belum sempat dia mengambil napas saat merebahkan tubuh yang letih di kursi, seorang gadis menghampirinya. Gadis itu bernama Huzaima Lathifa, rekan se-tim, juga partner. Bahkan dalam pencalonan presiden dan wakil presiden mahasiswa, Ni'am menggandeng gadis itu sebagai wakilnya.

Keadilan gender, pikirnya.

Menyentil sisi feminis wanita untuk meraup suara di kampus, logikanya yang waras menambahkan.

Bagi Ni'am, perempuan aktif di organisasi dan menjadi pemimpin itu bukan masalah, asal memiliki kapabilitas memimpin, berkomitmen terhadap tanggung jawab, memiliki integritas terhadap sesuatu dan juga punya sense of belonging and treatment terhadap organisasi yang dipimpin. Menurut Ni'am dan beberapa teman-temannya, Lathifa memiliki itu semua. Maka, Ni'am dan organisasi yang membekinginya tidak ragu saat merekrut dan mengumumkan siapa calon wakil presiden mahasiswa yang akan membantunya selama dua tahun menjabat.

"Gimana kabar lo? Gue turut berduka cita karena masalah yang pernah mencemarkan nama baik elo." Mata itu menatap khawatir, Ni'am hanya balas menyengir.

"Enjoy, Lathif. I'm just so so." Niam menepuk bahu Lathifa, membuat gadis itu terhenyak. Ia melihat punggung tangan Ni'am yang sekarang sudah kembali ke posisi semula. "Selama gue nggak ada, lo udah bikin jadwal agenda orientasi buat seluruh kementrian di BEM, kan?"

"Sesuai ama pesan lo. Dan berhenti manggil gue Lathif, gue ini cewek tulen."

Ni'am mengangkat tangan kanan ke udara kemudian berjalan menuju ruang kerjanya. Ia meletakkan tas punggung besar di meja dan menatap Lathifa yang mengikutinya sampai di depan pintu ruang kerja, "jadi, di mana lokasi orientasinya?"

"Pesantren Daarul Ma'arif yang di Cilandak, Jakarta Selatan."

Alis Ni'am bertaut. "Di pesantren?"

"Yupz." Wajah Lathifa berseri-seri, dia mengangkat proposal yang sudah disetujui rektorat. "Pertama, gue pilih pesantren karena perguruan tinggi kita adalah Universitas Islam, gue mau ngembaliin semangat beragama melalui pengenalan budaya serta sistem pendidikan yang ada di pesantren. Sebab, pendidikan agama di Indonesia itu dirintis lewat pesantren oleh wali songo. Kedua, gue udah capek liat fenomena dari anak-anak fakultas syariah, fakultas adab, FKIP dan lain-lain, yang mengambil materi tugas dari internet, bukan buku, kitab atau guru. Menurut gue, ustadz google ini sanadnya nggak jelas, kadang juga punya referensi yang dipertanyakan, atau bahkan ada beberapa kelompok radikal memanfaatkan internet untuk menyebarkan paham mereka."

Ni'am hanya diam, mendengarkan Lathifa dengan sabar.

"Ketiga, gue kenal pengelola pesantren ini. Paman gue, jadi untuk perijinan Insya Allah dipermudah. Lagipula, ini pasti akan jadi sangat berkesan karena lokasi kita beda dari tahun-tahun sebelumnya. Menurut elo gimana?" Lathifa berhenti menjelaskan, ia duduk di kursi yang ada di depan Niam. Mereka saling mengamati satu sama lain.

"Gue tertarik ama pemaparan elo. Yah, seenggaknya, kita perlu mencoba sesuatu yang berbeda tapi sesuatu itu kudu bisa bermanfaat buat kita atau anggota yang lain." Ni'am mengambil proposal di tangan Lathifa, ia membolak-balik lembar kepanitiaan dan pendanaan kegiatan.

"Lathif, jadi wakil rektor bidang akademik dan kemahasiswaan sudah menyetujui proposal kita?"

"Nggak cuma itu, pas elo sidang dulu, pengurus harian-gue, Sihab, Fathur, Watapona, dan Yi Xia-diajak audiensi untuk kegiatan orientasi ini dengan rektor dan wakil rektor. Mereka langsung setuju dan mendukung penuh kegiatan ini." Lathifa tersenyum lebar.

Ternyata, elo bener-bener bisa gue andalkan, batin Ni'am bangga.

"Yi Xia nggak menolak mengenai kegiatan yang diadain di pesantren? Nggak ada wacana diskriminasi agama minoritas gitu?" Ni'am menggali informasi.

Sedang Malaikat Pun CemburuWhere stories live. Discover now