SCN~16

11.5K 562 18
                                    

Kuhentikan mobil tepat di depan sebuah rumah kontrakan kecil yang terlihat sedikit kumuh, kepalaku menoleh ke arah wanita yang duduk disamping kemudiku sambil memangku bocah laki-laki yang sudah tertidur sejak tadi.

"Maaf." Lirih Yuna dengan kepala menunduk, entah sudah berapa kali dia mengucapkan kata yang sama selama perjalanan pulang kami.

Aku menghela nafas berat, aku tahu hal ini lambat laun pasti akan terjadi hanya saja aku tak menyangka akan secepat ini. Aku memang berencana akan bicara jujur dengan Dira mengenai Arga, tapi aku masih bingung bagaimana harus menjelaskannya. Sejujurnya aku takut membayangkan reaksi Dira setelah mengetahui kenyataan yang juga baru kuketahui ini, aku takut dia marah lalu memilih pergi dari hidupku. Aku tidak akan sanggup jika harus hidup tanpanya.

"Sudahlah, ini bukan salahmu. Aku akan menjelaskan semuanya pada isteriku nanti."

"Seharusnya mas tidak perlu pedulikan keberadaan kami, mas sudah punya keluarga dan kami hanyalah bagian dari masa lalumu. Aku benar-benar minta maaf." Tuturnya dengan nada menyesal, aku tahu dia tidak bermaksud buruk terhadap keluarga kecilku.

Kutatap wajah Arga yang begitu pulas, terlihat damai dan nyaman dengan belaian lembut dari tangan Yuna. Ada perasaan bersalah yang teramat dalam, karena kesalahanku bocah tak berdosa ini harus menjalani hidup tanpa kasih sayang seorang ayah, dan lebih buruknya lagi dia harus lahir di luar ikatan pernikahan kedua orangtuanya.

Aku tahu dengan jelas beban moral seperti apa yang akan ditanggung oleh si anak yang lahir karena perbuatan haram kedua orangtuanya, aku tak sanggup membayangkan anakku di hujat dan di cap sebagai anak haram.

Aku merutuki sikapku yang dulu terkesan melarikan diri dari tanggung jawab, meskipun aku tak bermaksud begitu. Tanpa perasaan aku meninggalkan Yuna dengan segala penderitaan yang harus dia tanggung sendirian.

Entah dengan apa aku menebus kesalahanku yang telah menelantarkan mereka, membiarkan mereka hidup serba kekurangan sementara aku hidup dengan bergelimangan harta.

Ampuni aku Ya Rabb...

Arga menggeliatkan tubuhnya, pertanda tidurnya mulai terusik dengan pembicaraan kami.

"Biar kugendong ke kamarnya!!" Kuraih Arga dalam gendonganku, sementara Yuna mengekor di belakangku.

Kembali kutatap Arga yang kini sudah berbaring di kasur tipisnya, mengusap kepalanya agar tidurnya kembali pulas.

"Maafkan ayah Nak, tidak seharusnya ayah menelantarkan kalian. Ayah harap ayah masih punya kesempatan untuk menebus semua kesalahan ayah pada kalian." Lirihku dengan penuh sesak, dan berhasil menjebol dinding egoku sebagai lelaki yang pantang menangis.

Kucium keningnya dengan lembut dan penuh perasaan "Ayah sayang sama Arga."

"Mas mau minum dulu?" Tanya Yuna sesaat aku keluar dari kamar Arga.

Aku menggeleng "Ngga usah, aku mau langsung pulang aja. Sampaikan salamku pada Arga, jika besok tidak sibuk aku yang akan menjemputnya di sekolah."

Yuna menggeleng dengan cepat "Ngga usah mas, sebaiknya mas selesaikan dulu masalah mas dengan isteri mas. Aku ngga mau dia salah paham dengan semua ini."

Aku terdiam. Membenarkan apa yang dikatakan Yuna barusan, tapi bagaimana caranya aku menjelaskan pada Dira tanpa harus menyakitinya, aku tak ingin dia mendengar kembali kisah kelamku dulu.

"Untuk sementara jangan datang menemui arga, aku akan mengurus dia dengan baik seperti biasanya. Ini demi kebaikan semuanya."

Aku tidak berniat mendebatnya, karena aku pun sependapat dengannya. Dira jauh lebih penting saat ini, aku membutuhkan pengertiannya untuk bisa menebus semua rasa bersalahku pada arga dan juga ibunya.

Sebening Cinta NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang