SCN~13

12.9K 595 9
                                    

"Diraaaaaaa....."

Lagi-lagi suara itu menginterupsi kegiatan yang kini kulakukan, entah sudah keberapa kalinya dalam sehari ini dia berhasil membuat moodku memburuk. Teriakannya nyaris seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang, membuatku pusing setengah mati.

Di hari libur seperti ini aku paling tidak bisa hanya duduk diam di depan televisi sepanjang hari, makan lalu tidur. Aku tidak mau kehamilanku menjadi alasan untukku bermalas-malasan, justru aku harus banyak bergerak agar proses persalinanku nanti mudah. Itu yang dibilang banyak orang, kecuali satu orang saja yang berpendapat lain.

Siapa lagi kalau bukan pria yang kini berdiri disampingku, yang sudah merebut selang air yang tadi kupegang.

"Biar aku saja, kamu istirahat saja di teras! Ingat sayang, kamu tidak boleh kerja berat-berat."

See...

Sejak kapan kegiatan menyiram tanaman merupakan pekerjaan berat, dasar berlebihan. Aku memutar bola mata tanda kesal, sejak kehamilanku memasuki usia tujuh bulan dia berubah menjadi sangat overprotectiv. Tak ada satu pun pekerjaan rumah yang boleh kukerjakan, semua dilimpahkan pada asisten rumah tangga kami atau dia sendiri yang akan turun tangan langsung.

Tak mau berdebat karena toh pada akhirnya ucapannya tak akan terbantahkan, dengan sangat terpaksa aku memilih pergi meninggalkannya dengan wajah super cemberut dan duduk dengan manis di teras. Memandanginya yang mulai menyirami tanaman koleksi Bunda di halaman depan sambil bersiul dengan riang, berbanding terbalik dengan perasaan dongkol yang kurasakan.

"Tingkahnya benar-benar mirip sekali dengan ayahnya?" Tiba-tiba Bunda sudah duduk di kursi sebelahku, tersenyum sambil memandangi putranya yang sore itu hanya mengenakan kaos singlet hitam yang mempertontonkan seluruh otot lengan kokohnya, serta celana cokelat selutut.

Tak mengerti apa yang dimaksud Bunda, aku menoleh ke arahnya dengan memasang wajah bingung.

"Dulu almarhum Ayah sama seperti Yoga yang sekarang, overprotectiv dan teramat lebai." Ujarnya disertai tawa, mungkin dia geli sendiri karena menggunakan kata-kata anak muda jaman sekarang. Aku pun ikut tertawa mendengarnya.

"Masa sih, Bun?"

Bunda mengangguk "Saat Bunda hamil Yoga, sikap Ayahnya benar-benar berubah 180 derajat. Dari yang tidak pernah memegang sapu dan alat pel menjadi sosok yang mencintai alat-alat kebersihan. Beliau tidak akan mengizinkan Bunda mengerjakan pekerjaan rumah satu pun, ya seperti yang dilakukan Yoga sekarang padamu."

Pantas saja.

"Nikmati saja sayang, walaupun terkadang hal itu membuat kita kesal, tapi percayalah semua yang dilakukannya adalah semata-mata demi kalian. Hmm...anggap saja ini sebagai dispensasi yang diberikan Allah untuk kita kaum wanita yang berkewajiban mengurus rumah tangga."

Aku mengangguk paham, aku sebenarnya mengerti akan sikap yang sudah beberapa bulan belakangan ini ditunjukkan oleh suamiku hanya saja aku masih merasa dia terlalu mengkhawatirkanku. Padahal dia selalu mendengarkan langsung apa yang dijelaskan dokter Silla setiap aku periksa kehamilan. Kandunganku sehat dan Insya Allah akan bisa melahirkan secara normal.

Tapi seperti yang barusan dibilang Ibu mertuaku, aku akan berusaha memahami kekhawatiran yang melanda Mas Yoga dan menikmati waktu istirahatku dari tugas seorang Isteri dalam mengurus pekerjaan rumah. Dan ide jahil pun langsung tersusun rapi dalam kepalaku, bagaimana kalau aku menjahili dia yang biasanya selalu menjahiliku.

Itu bukan termasuk dosa kan???

Aku menyeringai kearahnya yang lagi-lagi melemparkan senyum memikatnya padaku.

Sebening Cinta NadiraOnde histórias criam vida. Descubra agora