Prolog

56 19 2
                                        

🚫Adegan tidak untuk ditiru🚫
Cerita adalah fiksi yang tidak berhubungan dengan apapun, siapapun dan dimanapun!

Tidak boleh ditiru untuk umum/pribadi tanpa izin penulis.

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2022 Tentang Hak Cipta
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan UU Hak Cipta!
.
.
.

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak CiptaUndang-undang Nomor 19 Tahun 2022 Tentang Hak CiptaPeraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan UU Hak Cipta!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jihan meremas kuat rok abu-abunya yang telah basah. Aroma tak sedap dari air yang entah apa campurannya memenuhi tubuhnya. Lagi, yang bisa Jihan lakukan hanya diam dan menangis tanpa suara. Tiga siswi yang berseragam sama dengannya terus menertawakan Jihan, bahkan ada yang merekam. Penindasan seperti ini adalah makanan sehari-hari Jihan.

Setiap membuka mata di pagi hari, Jihan mengumpat, berharap agar tidak bangun saja. Lagipula, tidak ada siapapun di dunia ini yang memihaknya. Ayah dan ibunya meninggal sebulan lalu karena kecelakaan, meninggalkannya seorang diri di dunia kejam ini.

Ayunan tangan berhasil membekas di pipi kiri Jihan. Belum juga luka di sudut bibirnya mengering, tamparan demi tamparan keras sudah diterimanya. Hingga mau tak mau Jihan harus mengecap asinnya cairan merah dalam mulutnya.

"Harusnya lo sadar, lo siapa. Lo anak yatim piatu dan gak punya temen, masuk di sekolah ini pakai beasiswa, gak malu? Mumpung orang tua lo udah meninggal, mending lo berhenti sekolah, gedeg gue liat muka lo tiap hari," cibir Emely, gadis tinggi putih dengan rambut gelombang pirangnya. Yang Jihan tahu, kakeknya seorang bule, jadi cukup terlihat jelas wajah kebuleannya.

"Mel. Nih, airnya." Itu Dasha, masih satu geng dengan Emely. Dasha sendiri terlihat lebih tua dari usianya.

Emely tertawa miring. Ia menjambak rambut basah Jihan lalu mendorong paksa kepala gadis itu agar masuk ke dalam ember hitam yang penuh dengan air sabun.

Jihan memberontak, namun sialnya tangan dan kakinya sudah diikat. Yang bisa gadis itu lakukan hanya berteriak dan menggeliat kasar agar Emely segera mengangkat kepalanya.

Emely dan antek-anteknya tertawa keras. Seakan apa yang mereka lihat adalah komedi dunia. Gadis bule itu mengangkat kepala Jihan, membuatnya mengambil napas sebanyak yang ia bisa, lalu kepalanya kembali didorong masuk ke dalam ember. Jihan terus memberontak, ia berteriak kencang, namun naasnya hanya dia sendiri yang bisa mendengar teriakan dalam air itu.

Emely mengangkat paksa kepala Jihan lalu mendorongnya agar tersungkur jatuh ke tanah. Jihan cepat-cepat mengambil udara seperti orang kesetanan. Emely menendang pundaknya, membuatnya terlentang. Jihan sudah tak memiliki tenaga. Wajahnya pucat pasi dan ia mulai gemetar karena kedinginan. Saat hampir saja matanya tertutup, Emely menyiramnya dengan seember air bersih penuh es batu.

"Guys!"

Panggilan itu membuat seluruh yang ada di taman belakang sekolah menoleh. Gadis cantik dengan rambut panjang bergelombang itu berjalan mendekati mereka. "Udah, Mel. Kasihan Jihan." Jelasnya dengan wajah tangguh.

Loser In ClassWhere stories live. Discover now