Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama Hanbin, meskipun Hanbin mungkin tidak akan pernah menyadari perasaannya.

“Baiklah,” ujar Zhang Hao akhirnya. “Kami akan menerimanya dengan senang hati.”

Hanbin menepuk bahu sahabatnya dengan penuh semangat. “Aku janji tidak akan membuatmu kerepotan! Aku akan memasak, mencuci, dan membersihkan rumah!”

Orang tua mereka tertawa mendengar ucapan Hanbin, sementara Zhang Hao hanya tersenyum kecil. Ia tahu betul bagaimana Hanbin yang ceroboh dan kurang teliti. Pada akhirnya, ia juga yang akan mengurus banyak hal.

Namun, ia tidak keberatan. Jika itu berarti bisa tetap berada di sisi Hanbin, maka Zhang Hao bersedia menghadapi apa pun yang akan terjadi di depan mereka.

Malam itu, setelah keputusan diumumkan, kedua keluarga tetap tinggal di ruang tamu, mengobrol santai seperti biasa. Hubungan mereka memang lebih dari sekadar tetangga—mereka telah hidup berdampingan selama bertahun-tahun, berbagi banyak momen bersama.

Zhang Hao masih ingat saat kecil, bagaimana ia sering berlarian di halaman rumah Hanbin, bermain sampai matahari terbenam. Orang tua mereka tidak pernah merasa canggung satu sama lain; pertemuan makan malam bersama sudah menjadi kebiasaan, dan Hari Raya selalu dirayakan di rumah salah satu dari mereka.

Hanbin, yang sejak tadi asyik menikmati camilan yang dibuat ibu Zhang Hao, menyenggol bahu sahabatnya. “Hei, ingat tidak? Waktu kecil, aku pernah bilang mau menikah denganmu supaya kita bisa tinggal bersama selamanya.”

Zhang Hao terkekeh kecil, meskipun ada sesuatu yang terasa menusuk di dadanya. “Ya, dan setelahnya kau menangis karena menyadari bahwa kita sama-sama laki-laki.”

Tawa memenuhi ruangan. Kedua keluarga ini memang terlalu dekat, begitu dekat hingga rasanya seperti satu keluarga besar. Mungkin itulah alasan mereka begitu percaya untuk membiarkan Hanbin dan Zhang Hao tinggal bersama—karena mereka tahu, tidak ada yang akan berubah.

Atau setidaknya, itulah yang mereka pikirkan.

●●●

Hari kepindahan mereka tiba lebih cepat dari yang Zhang Hao perkirakan. Dalam sekejap, kardus-kardus berisi barang pribadi mereka memenuhi ruang tamu rumah baru itu—sebuah rumah sederhana dengan dua kamar tidur, dapur kecil, dan ruang tamu yang cukup luas untuk mereka berdua. Letaknya tidak terlalu jauh dari sekolah, cukup ditempuh dengan berjalan kaki atau naik sepeda dalam beberapa menit.

Hanbin berdiri di tengah ruangan dengan tangan di pinggang, menghela napas panjang seolah tengah menilai tempat itu. “Tidak buruk, ya?” katanya dengan nada puas.

Zhang Hao, yang sedang menyusun bukunya di rak, melirik sekilas. “Ini lebih dari cukup. Lagipula, kita hanya butuh tempat untuk tidur dan belajar serta tempat makan.”

Hanbin mendengus pelan. “Kau selalu serius sekali, Hao-ge.”

Sebelum Zhang Hao sempat menanggapi, suara mobil berhenti di depan rumah mereka. Tak lama kemudian, ibu Hanbin dan ibu Zhang Hao masuk, membawa kantong belanjaan.

“Kami membelikan beberapa bahan makanan untuk kalian,” kata ibu Hanbin sambil meletakkan kantong-kantong itu di meja dapur. “Jangan hanya makan mie instan, mengerti?”

Your Void [ BinHao ] [END]Where stories live. Discover now