3 bulan setelahnya...
Hujan London turun dalam lapisan halus seperti kabut, setiap langkah MJ di atas lantai marmer bergema di ruang perpustakaan yang sunyi, suara ketukan heels-nya berirama dengan detak jantungnya yang tak beraturan. Aroma kayu cedar dari rak-rak buku tua bercampur dengan wangi kertas yang menguning dan tetesan hujan yang menyentuh jendela-jendela tinggi bergaya Victorian.
Setelah MJ menemani Jeff bertemu dengan Amelia di Bali, mereka berdua memutuskan—MJ lebih tepatnya—untuk mengambil ruang sendiri. Membiarkan Jeff punya ruang untuk memproses semuanya, untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan Amelia dan Arlo. Sampai waktu di mana mereka siap untuk memulai kembali semuanya dan butuh waktu tiga bulan untuk Jeff kembali menghubungi MJ.
Di sudut ruangan, di antara jendela-jendela, Jeff berdiri membelakanginya. Siluetnya terlihat berbeda dari yang MJ ingat, Jeff terlihat hanya seperti seorang pria dalam sweater rajut cream dan jeans, terlihat lebih manusiawi, lebih rapuh dari yang pernah MJ bayangkan.
Cahaya kelabu dari luar jatuh lembut di wajah Jeff saat dia berbalik mendengar langkah MJ. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya menatap—matanya, yang biasanya berkilat dengan kepercayaan diri, kini dipenuhi campuran kerinduan dan ketakutan yang tak terucap.
"Hey." suaranya serak, seolah telah berlatih mengucapkan kata sesederhana itu berkali-kali. "Thanks for coming."
"Addie bilang ini penting," MJ menjawab, dia mengambil napas dalam, mencium aroma parfum Jeff yang bercampur dengan wangi hujan di sweaternya.
Jeff melangkah mendekat ke meja antik mahogani di tengah ruangan, tangannya merogoh tas kulit yang tergeletak di sana. Gerakan tangannya tidak seperti biasanya saat dia mengeluarkan sebuah voice recorder—recorder milik MJ yang tertinggal di kamar hotelnya malam itu di Interlagos. Benda kecil itu sekarang menyimpan begitu banyak kenangan tak terucap, begitu banyak kata yang tak pernah sempat terekam.
"I want to give you something you've always wanted," Jeff berkata pelan, suaranya bergema lembut di ruangan yang sunyi. "The truth. The real story. No PR, no masks, just..., me."
MJ menatap recorder di tangan Jeff, mengingat berapa banyak wawancara yang telah dia lakukan dengan benda itu. Namun, tidak pernah seperti ini—tidak pernah dengan jantung yang berdebar sekencang ini, tidak pernah dengan harapan yang terasa begitu rapuh.
"Jeff... what are you talking about?" dia berbisik, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan yang semakin deras di luar.
Jeff meletakkan recorder itu di permukaan meja yang mengkilap, jari-jarinya yang biasa begitu stabil di setir mobil Formula One kini gemetar saat menekan tombol merah. Lampu kecil berkedip, menjadi saksi bisu momen yang akan mengubah segalanya.
"You're the best journalist I know, Michelle Jane." Jeff menatapnya lurus, matanya berkaca-kaca. "Dan, aku mau kamu mewawancarai ini dan menulis ini."
MJ mencoba bicara, tapi Jeff mengangkat tangannya lembut, memohon untuk dibiarkan melanjutkan. Dia menarik napas dalam, dan ketika berbicara lagi, suaranya berubah—lebih dalam, lebih jujur dari yang pernah MJ dengar.
"My name is Jeff Gautama," dia memulai, setiap kata terasa berat oleh kebenaran yang terlalu lama disembunyikan. "Born in Amsterdam, 26 years ago, to a racing legend, Ferdinand Gautama and a journalist, Amelia Koesnadi, who dared to expose the truth."
MJ merasakan napasnya tercekat. Jeff tidak pernah menggunakan nama asli ibunya di publik.
"I learned early that love comes with conditions in our world," Jeff melanjutkan. "That keeping secrets was safer than being honest. That winning was more important than being happy." Dia tersenyum sedih. "Until I met someone who taught me otherwise."
"Kamu nggak perlu melakukan ini, Jeff." MJ berbisik.
"Aku perlu." Jeff melangkah mendekat. "Karena aku udah nyakitin kamu. Karena aku takut kehilangan kamu sampai aku mendorong kamu menjauh. Karena...." Dia menelan ludah, "Karena aku jatuh cinta sama kamu di antara semua kepura-puraan yang kita lakukan, dan itu lebih menakutkan daripada pertandingan balap apa pun."
Air mata MJ mulai jatuh. Jeff mengulurkan tangannya perlahan, seperti takut MJ akan menjauh, dan mengusap pipinya dengan ibu jari.
"So, here I am," ujar Jeff lembut. "Giving you exclusive rights to my story. Every truth, every secret, every part of me I've been too scared to show the world." Dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sebuah flash drive. "Termasuk semua dokumen yang Papa pakai untuk mengancam kita. Because I'm done hiding. Done letting fear control me."
"Kenapa sekarang?"
"Karena aku akhirnya sadar akan sesuatu." Jeff tersenyum lembut. "Being loved for who I really am is worth more than all the championships in the world."
MJ menatapnya lama, mencari kebohongan dalam matanya. Namun, yang dia temukan hanya kejujuran—Jeff yang akhirnya berani membuka semua topengnya.
"Jadi?" Jeff berbisik, tangannya masih di pipi MJ. "Will you write my story? The real one?"
MJ merasakan senyum kecil mulai terbentuk di bibirnya. "Kamu yakin? It's going to cost you so much."
Jeff tersenyum dan mantap. "Seratus persen yakin, Michelle Jane."
—
AN: HIIII, finally it's coning to an end.
kalau kalian kepo sama kelengkapan dan versi mendetil tentang MJ, Jeff, Arlo, Kingmann Racing skandal.
bisa membeli bukunya di link di bawah ini ya dan soon akan ada di Gramedia. info lebih lanjut akan di update di Instagram.
🔗 https://s.shopee.co.id/7peA5JGMPL
dan untuk extra chapter dan ebook project (kumpulan cerita mereka di luar ini)
infonya akan ada di IG byquinie ya.
make sure to follow me there.
see you, love💗
YOU ARE READING
Rule Number Five [TERBIT]
Romance[TELAH DITERBITKAN dan TERSEDIA DI GRAMEDIA] Michelle Jane Kennedy, seorang jurnalis fesyen, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah ditugaskan mewawancarai Jeff Gautama, rekan setim adiknya di F1. Jeff, seorang pembalap berbaka...
![Rule Number Five [TERBIT]](https://img.wattpad.com/cover/377730712-64-k579776.jpg)