"buat apa kamu marah soal eli dan kinan akan nikah? semuanya juga sudah terlanjur, tujuan kamu sekarang itu cuman Khatrina. papah tau susah buat lupain orang lama tapi papah yakin orang baru itu jauh lebih baik " ucap gracia yang membuat gita terdiam dan akhirnya berbalik dan fokus untuk kearah jalan dan menjalankan mobilnya .

"tapi gita tak suka jika gita di bohongin kaya gitu"

"mungkin Khatrina tak bohong tapi waktu untuk ngasih tau semuanya itu tak tepat . Mungkin Khatrina butuh waktu yang tepat ." ucap gracia yang begitu positif agar gita juga memikirkan hal yang sama .

"gita butuh waktu pah" ucap gita lalu terdiam dengan ekspresi datarnya .

**

Khatrina berjalan pelan memasuki kamarnya. Langkah kakinya berat, napasnya pun tidak teratur. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia langsung terduduk di atas tempat tidur. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri, seolah ingin menahan seluruh perasaan sakit yang menghantam dadanya.

Air matanya tak terbendung lagi.

Perkataan Gita tadi terus terngiang-ngiang di kepalanya — tajam, menyayat, seolah menyuruhnya sadar bahwa dirinya bukan pilihan… hanya pelarian.

"Aku capek nungguin kamu sadar kalau aku ada..." bisik Khatrina lirih, suaranya tercekat oleh isakan.

Ia menunduk dalam, tangisnya pecah, menggigil di dalam pelukannya sendiri. Matanya membengkak, napasnya terputus-putus di sela tangis yang tak bisa ia tahan.

Namun tiba-tiba…

Tok tok tok

Suara ketukan pelan di pintu terdengar, membuat Khatrina tersentak. Sebelum sempat menjawab, pintu kamar terbuka perlahan. Sosok yang berdiri di ambangnya membuat tubuh Khatrina menegang.

Eli.

Khatrina buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan, mencoba tersenyum — meski pahit, walau nyaris tak bisa berdiri sempurna dari luka barusan.

Eli berdiri di ambang pintu, ragu.

"Aku... boleh masuk?" tanya Eli, suaranya lembut namun terdengar sangat serius.

Khatrina hanya bisa mengangguk cepat, berusaha menenangkan dirinya meski luka di dadanya belum benar-benar reda.

"Iya... masuk aja."

Eli pun melangkah masuk, menutup pintu dengan perlahan di belakangnya, sementara Khatrina menunduk — tak tahu harus berkata apa. Hanya detak jantung dan sisa tangisnya yang masih terdengar di dalam ruangan yang kini terasa begitu sunyi.

Eli melangkah pelan, lalu duduk perlahan di sisi tempat tidur, tepat di samping Khatrina. Sesaat ia hanya memandangi gadis itu yang masih menyeka sisa air mata, lalu menarik napas pelan.

“Aku denger semuanya tadi… waktu kamu dan Gita di halaman,” ucap Eli akhirnya, lembut namun penuh makna.

Khatrina langsung membeku. Matanya membelalak, tubuhnya menegang, dan bibirnya sedikit bergetar. Ia tak mampu menoleh, hanya bisa menunduk, membiarkan keheningan menjawab.

Eli melirik sekilas ke arah Khatrina sebelum melanjutkan, “Aku tahu... Gita bukan orang yang gampang dihadapi. Dia keras kepala, emosinya naik turun. Aku pun dulu sering capek ngadepin dia.”

Khatrina hanya diam, namun tangannya mengepal di atas pahanya. Ia mendengarkan, menahan perasaannya yang kembali menggelora.

“Tapi satu hal yang aku pelajari,” Eli melanjutkan pelan, “Kalau kamu sayang sama orang seperti Gita, kamu harus siap sabar. Harus siap kecewa. Dan harus bisa bedain antara cinta... dan pengorbanan.”

Suara Eli begitu tenang, tak ada rasa cemburu ataupun benci — justru seperti seorang kakak yang ingin melindungi Khatrina dari luka yang sama.

“Dulu aku juga mikir aku bisa sabar, bisa ngadepin dia. Tapi nyatanya... aku nyerah,” lanjutnya jujur, lalu menatap Khatrina lekat-lekat. “Tapi kamu... kamu masih bisa. Kalau kamu yakin masih mau sama dia, ya kamu harus berdamai sama semua lukanya. Sama sifat kerasnya. Sama semua ketidaksempurnaannya.”

Khatrina tak mampu lagi menahan. Isakan kecil kembali terdengar dari bibirnya, tubuhnya bergetar pelan. Ia menunduk, dan air mata mengalir lagi dari matanya, jatuh ke pangkuannya.

Melihat itu, Eli perlahan mengelus punggung Khatrina dengan lembut, menenangkan.

“Enggak apa-apa nangis,” bisik Eli sambil meraih Khatrina ke dalam pelukannya. “Tapi kalau kamu masih mau berjuang, jangan berhenti cuma karena sakit. Karena cinta emang sakit, tapi bisa jadi indah... kalau kamu nggak sendirian ngadepinnya.”

Pelukan itu hangat, bukan karena cinta yang romantis, tapi karena empati. Karena Eli tahu — luka yang dirasakan Khatrina, dulu juga pernah ia alami.

***








































halo I'm back thank you yang udah mau baca terus yaa lov u alll😚😚😚😚😚

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 04 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Move On Or Move In [GitKhat]Where stories live. Discover now