“Udah tua, ubanan, keriputan, tapi masih nggak mau dipanggil Pak Tua,” tambah Jian, seolah malah menantang.
“Biar udah tua gini, tapi masih kuat puluhan ronde,” sanggah sang ayah.
Harlan, Aimara, dan Raya menggeleng, sebab pembicaraan ayah dan anak itu sudah bisa ditebak akan ke mana. Secepatnya Harlan beraksi untuk menghentikannya. Terlebih, Harlan juga sudah lapar.
“Stop! Stop! Stop!” sela Harlan dengan berdiri di antara Jian dan Baron Permana.
“Jadi, kapan kami makan kalo kalian sibuk debat?” tanya Harlan seraya memandang Jian dan Baron Permana bergantian.
Baron Permana baru ingat, kalau Jian tidak datang sendiri ke sana. Tentu saja ia tidak boleh membuat para remaja itu kelaparan dan melihat perdebatan tidak pentingnya dengan Jian.
“Kalo gitu kamu ajak mereka ke rooftop, biar Om sama Jian yang nyiapin makanannya!” balas Baron Permana pada Harlan.
Harlan mengangguk. “Oke, Om!”
“Maaf, ya, Anak-Anak!” Baron Permana memandang teman-teman putranya. Semua membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum.
Harlan lantas membawa teman-temannya menuju rooftop. Sementara Jian diseret sang ayah agar ikut ke dapur untuk menyiapkan makanan.
“Lan, yang tadi itu beneran bokapnya Jian?” tanya Saga setelah sampai di rooftop dan duduk nyaman di kursi yang tersedia.
Harlan mengangguk sebagai jawaban. Kemudian, menata kursi agar semua temannya mendapat tempat duduk nyaman.
“Ternyata udah setua itu. Kalo kata gue sih, lebih cocok jadi kakeknya Jian.” Lala menimpali.
Raya menyenggol siku Lala, agar murid perempuan itu tak terus mengoceh yang tidak-tidak tentang Baron Permana. Terlebih, mereka saat ini akan makan gratis di restoran milik keluarga Permana. Ya, meski sebenarnya ada banyak topik gibah tentang sosok yang memiliki tiga istri itu.
Di samping Raya, ada Aimara yang sibuk melihat foto hasil jepretannya. Ternyata foto yang ia dapatkan cukup baik dan layak untuk diikutsertakan kompetisi. Tanpa Aimara sadari, ada Saga yang diam-diam mengintip di belakang.
“Kok Zavi semua?” tanya Saga.
Aimara yang terkejut langsung menoleh dan menendang kaki Saga. Apa lagi Saga tadi berbicara cukup keras. Jika Zavi dan yang lainnya mendengar, ia bisa malu.
“Ketahuan, nih!” Saga mulai menggoda Aimara.
Aimara memelototi Saga, agar tak membuat keributan dan topik gibah baru. Sementara Saga malah menjulurkan lidah padanya dan duduk di samping Zavi yang sedang menyimak obrolan Harlan dan Lingga tentang jadwal latihan mereka.
“Vi, lo belajar rapp sama siapa? Gue tadi kaget, loh, liat lo ngerapp.” Akhirnya Raya menanyakan pertanyaan yang ditahan sejak tadi.
“Oh ... gue diajarin sama seseorang yang gue kenal.” Zavi menjawab sambil mengalihkan pandangan pada sang lawan bicara.
“Lo punya nomer kontaknya, nggak? Kalo punya, gue minta. Kebetulan adek gue pengen belajar rapp sama seseorang yang udah berpengalaman.” Raya mengungkap maksud tujuannya.
Zavi menggeleng. “Nggak punya. Udah sekitar tujuh tahunan gue nggak ketemu dia. Waktu itu, dia tiba-tiba pergi.”
Jawaban Zavi membuat mereka yang berada di sana penasaran dengan orang yang dimaksud. Entah ada apa di balik menghilangnya orang itu. Zavi sendiri sampai sekarang belum tahu jawabannya. Jujur saja, jika diberi kesempatan, Zavi ingin bertemu dengan orang itu lagi untuk belajar banyak tentang musik.
“Apa dia juga yang ngajarin lo main gitar sama bass?” tanya Aimara, yang ikut menimbrung.
“Iya. Seinget gue, di apartemennya ada banyak alat musik.”
- Bersambung -

VOCÊ ESTÁ LENDO
Better Days
Ficção AdolescenteTentang Zavion Ardhana Dayndra yang pendiam dan tidak pandai mengungkapkan isi hati. Bertemu dan mengukir cerita di kehidupan remajanya bersama Aimara Nayyara, sosok gadis yang selalu tampak ceria dan bahagia. Ditambah dengan kehadiran saudara laki...
13. Plot Twist Paling Plot Twist
Começar do início
