2. The Classroom Where It All Began

6 0 0
                                        

Pagi itu, Benzena Evelia Baswara kembali ke sekolah setelah seminggu beristirahat karena tipes. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, ia merasa lega bisa kembali ke rutinitas. Ia menata tas dan buku-bukunya dengan hati-hati di meja guru sebelum menuju kelas. Di sepanjang lorong sekolah, beberapa teman sesama mahasiswa PPL menyapanya dengan senyum lebar.

"Wah, Benzena! Udah sembuh? Mukanya masih agak pucat, lho," sapa Shinta, teman satu jurusan yang selalu ceria.

"Udah mendingan kok," jawab Benzena sambil tersenyum. "Cuma mungkin masih butuh adaptasi lagi."

Namun, ada satu hal yang ia perhatikan. Meski hampir semua orang menyapanya dengan hangat, Devano Adzki Mahendra hanya melirik sekilas saat mereka berpapasan di lorong. Albara, temannya dari jurusan PJOK, bahkan hanya tersenyum tipis. Tidak ada tanda-tanda mereka merasa bersalah karena tidak menjenguknya saat sakit, dan itu membuat Benzena semakin kesal.

---

Di dalam kelas, Benzena berdiri di depan papan tulis, menjelaskan materi dengan antusias meskipun tenaganya belum sepenuhnya kembali. Para siswa tampak fokus, beberapa mencatat dengan serius, sementara lainnya sibuk bertanya. Benzena merasa dirinya perlahan kembali ke ritme.

Namun, ketika ia hampir selesai menjelaskan, pintu kelas diketuk. Sosok Devano muncul dengan bola basket di tangan.

"Maaf, Bu Benzena," katanya sambil memasang senyum lebar. "Bola ini ketinggalan, jadi saya izin ambil."

Beberapa siswa langsung tertawa kecil, sementara Benzena hanya menatapnya dingin. "Silakan," jawabnya singkat.

Devano tidak segera pergi. Ia berdiri sejenak di pintu, menatap Benzena dengan pandangan yang sulit diartikan, lalu berbalik dan pergi. Bisik-bisik mulai terdengar di antara siswa, tetapi Benzena mencoba mengabaikannya.

Setelah kelas selesai, Benzena kembali ke ruang guru, merasa lega bisa duduk sebentar. Ia sedang sibuk menulis rencana pelajaran ketika suara langkah kaki menghampirinya. Devano muncul lagi, kali ini membawa segelas teh hangat.

"Minum ini," katanya sambil meletakkan gelas itu di meja.

Benzena menatapnya bingung. "Untuk apa?"

"Biar cepat pulih," jawab Devano santai. "Aku nggak mau kamu sakit lagi. Kalau nggak ada kamu, siapa yang mau jelasin rumus-rumus itu?"

Benzena mengangkat alis. "Jadi kamu peduli cuma karena aku guru kimia?" tanyanya dengan nada setengah bercanda, tapi ada sedikit ketus di dalamnya.

Devano tersenyum tipis. "Nggak gitu. Tapi kalau kamu nggak ada, aku bakal bosan nggak ada yang bisa diajak diskusi soal hal-hal serius."

Jawabannya membuat Benzena terdiam. Ia tidak tahu apakah itu tulus atau sekadar basa-basi. Namun, ada sesuatu dalam nada suaranya yang sulit diabaikan. Ia akhirnya mengangguk pelan. "Terima kasih."

---

Hari-hari berikutnya, Benzena mulai memperhatikan Devano lebih sering. Bukan karena ia tertarik, tapi karena ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Devano tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Meski sering terlihat santai, ia ternyata cukup perhatian.

Suatu hari, saat mereka sama-sama berada di ruang guru, Devano tiba-tiba bertanya, "Kamu masih marah, ya, gara-gara aku nggak sempat jenguk waktu kamu sakit?"

Benzena terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menoleh dan menatapnya tajam. "Aku nggak marah. Cuma agak aneh aja, hampir semua orang datang, tapi kamu dan Albara nggak."

Devano menghela napas, seolah sedang berpikir bagaimana menjawab. "Aku sebenarnya mau datang. Tapi aku dengar kamu nggak suka kalau terlalu banyak orang datang waktu sakit. Jadi, ya, aku pikir lebih baik nggak ganggu."

Jawaban itu membuat Benzena terdiam. Ia tidak tahu apakah Devano mengatakan yang sebenarnya atau hanya mencoba mencari alasan. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Devano melanjutkan, "Dan soal kamu mirip sama mantan, aku minta maaf. Itu bukan sesuatu yang harusnya disampaikan ke kamu. Aku nggak bermaksud bikin kamu merasa nggak nyaman."

Kata-kata itu langsung membuat Benzena merasakan sesuatu yang aneh di hatinya. Ia tidak tahu apa itu-apakah kesal, lega, atau mungkin sesuatu yang lain. Yang ia tahu, Devano mulai membuka pintu kecil di hatinya, meskipun ia masih berusaha menutupnya rapat-rapat.

Dalam diam, Benzena menyadari satu hal: pertemuan ini bukan kebetulan. Ada sesuatu tentang Devano yang menarik, sesuatu yang berbeda, meskipun ia masih belum siap mengakuinya pada diri sendiri.

Of Elements And MovementWhere stories live. Discover now